Dosen Akademik
Atika Wasilah S.Pd, M.Pd
KAJIAN sastra
Makalah teori sastRa
Oleh :
KELOMPOK 8
ANGGOTA : Azizah
Nur Fitriana
Nurhasibah
Nasution
Sri
Mahyuni
Suci
Florence
Utary
Eka Putri
Lokal Regular A
Fakultas bahasa dan seni
Universitas Negeri Medan
2011
Kata Pengantar
Puji
syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “KAJIAN SASTRA ”
Makalah
ini berisikan tentang informasi kajian sastra atau yang lebih khususnya
membahas sebuah rangkuman atau pun pendekatan dalam sastra. Diharapkan Makalah
ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang KAJIANSASTRA. Dan
kiranya dapat memenuhi nilai tugas mata kuliah TEORI SASTRA sesuai dengan yang
diharapkan.
Kami
menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
Makalah ini.
Demikianlah sebagai pengantar kata, dengan iringan serta
harapan semoga tulisan sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi
pembaca. Atas semua ini kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, semoga
segala bantuan dari semua pihak mendapat amal baik yang diberikan oleh Allah
SWT.
Medan
, September 2011
Penulis
i
DAFTAR
ISI
Kata pengantar : ………………………………………… i
Daftar isi : …………………………………………. ii
Bab I. Pendahuluan : ………………………………………..... iii
a. Latar
Belakang …………………………………………. 1
b. Rumusan
Masalah …………………………………………. 2
c. Tujuan
…………………………………………. 2
Bab II. Pembahasan
a. Pendekatan
Ekspresif ……………………………………… 3
b. Pendekatan
objektif ………………………………….. 5
c. Pendekatan
Mimetik ………………………………….. 7
d. Pendekatan
Pragmatik ………………………………….. 9
e. Pendekatan
Interdisipliner Sastra ………………………….. 10
Bab III. Penutup
-
Kesimpulan dan saran ………………………………………… 14
Daftar bacaan : ………………………………………….. 15
ii
Bab
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Karya
sastra merupakan komunikasi antara sastrawan dan pembacanya. Bentuk komunikasi
itu berupa karya sastra. Apa yang ingin di ungkakan sastrawan kepada para
pembacanya. Bentuk komunikasi ternyata melahirkan berbagai kejadian dalam teori
sastra. Setiap kajian itu ada yang menitikberatkan kejadiannya pada diri
sastrawan, ada juga yang menitikberatkan kajiannya pada kesusastraan antara
karya sastra dan alam semesta.
Menurut
Abrams (1976:6) di dalam komunikasi antara sastrawan dan pembaca nya, ia
mengemukakan situasi sastra secara menyeluruh (the total situation of a work of
art ) terdiri atas empat hal : 1. Karya sastra (work) , 2. Sastrawan (artis) ,
3. Semesta (universe) dan 4. Pembaca (audience).
Dari
keempat hal itu – karya sastra , sastrawan , semesta, dan pembaca – terdapat
empat pendekatan dalam kajian sastra. Pendekatan sastra yang menitikberatkan
pada karya sastra disebut pendekatan objektif. Pendekatan karya sastra yang
menitikberatkan pada penulis disebut pendekatan ekspresif. Pendekatan kajian
sastra yang menitikberatkan pada kajian terhadap semesta atau alam disebut
pendekatan mimetik. Dan pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan pada
pembaca disebut pendekatan pragmatik.
Dari
keempat pendekatan kajian tersebut , dapat dirunut keberadaan aliran-aliran
kajian yang ada. Pendekatan kajian ekspresif, misalnya, tampak menonjol pada
kajian tentang psikologi pengarang dan sosiologi pengarang. Pendekatan kajian
objektif tampak menonjol pada kajian formalisme dan strukturalisme. Selain itu,
ada juga pendekatan yang lahir akibat interdisipliner antara sastra dan ilmu
lain, seperti munculnya sejarah sastra , sosiologis sastra, psikologi sastra ,
sastra religi , dan kajian sastra feminis. Dari keempat pendekatan kajian itu
akan dijelaskan lebih terperinci dalam pembahasan berikutnya.
1
B. Rumusan
Masalah
Ada
beberapa rumusan masalah dalam pendekatan sastra, antara lain :
a. Apa
yang dimaksud dengan pendekatan ekspresif dan penjabarannya .
b. Apa
yang dimaksud dengan pendekatan objektif dan penjabarannya .
c. Apa
yang dimaksud dengan pendekatan mimetik dan penjabarannya .
d. Apa
yang dimaksud dengan pendekatan pragmatik dan penjabarannya .
e. Apa
yang dimaksud dengan pendekatan interdisipliner dan penjabarannya .
C. Tujuan
Untuk
dapat mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan macam-macam pendekatan
sastra. Seperti, maksud dan tujuan pendekatan ekspresif, objektif, mimetik,
pragmatik, dan interdisipliner.
2
Bab II
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif
adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada
ekspresi perasaan atau tempramen penulis (Abrams, 1981:189). Pada abad ke-18 ,
pada masa Romantik , perhatian terhadap sastrawan sebagai pencipta karya sastra
menjadi dominan. Karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan
mengungkapkan pribadi pengarang (Selden 1985-52). Karya sastra tidak akan hadir
bila tidak ada yang menciptakannya sehingga pencipta karya sastra sangat
penting kedudukannya (Junus,1985:2). Teeuw (1984) mengatakan bahwa karya sastra
tidak bias dikaji dengan mengabaikan kajian terhadap latar belakang sejarah dan
system sastra : semesta, pembaca, dan penulis. Informasi tentang penulis
memiliki peranan penting dalam kegiatan kajian dan apresiasi sastra. Ini
diarenakan karya sastra pada hakikatnya adalah tuangan pengalaman penulis (Teeuw,
1984; Selden, 1985; Roekhan, 1995; Eneste, 1982). Dalam pendekatan ini,
penilaian terhadap karya seni ditekankan pada keaslian dan kebaruan.
Pendekatan ekspresif juga merupakan pendekatan yang mendasarkan pada pencipta atau pengarang karya sastra. Telaah dengan pendekatan ekspresif ini menitik beratkan, misalnya, pada “the novelist, his imagina¬tion, insight, and spontaneity” Lebih lanjut, Abrams menjelaskan: “This is based on the ex¬pressive theory which considers a work of art as essentially the internal made external, resulting from a creative process operating under the impulse of feeling, and embodying the combined product of the novelist’s perceptions, thoughts, and feelings. The primary source and subject matter of a novel therefore are the attributes and actions of the novelist’s mind (Abrams, 1956:22). (Telaah ini didasarkan pada teori ekspresif yang memandang suatu karya seni yang secara esensial sebagai dunia internal (pengarang) yang terungkap sehingga menjadi dunia eksternal (berupa karya seni); perwujudannya melalui proses kreatif, dengan titik tolak dorongan perasaan pengarang; dan hasilnya adalah kombinasi antara persepsi, pikiran dan perasaan pengarangnya. Sumber utama dan pokok masalah suatu novel, misalnya, adalah sifat-sifat dan tindakan-tindakan yang berasal dari pemikiran pengarangnya).
Pendekatan ekspresif juga merupakan pendekatan yang mendasarkan pada pencipta atau pengarang karya sastra. Telaah dengan pendekatan ekspresif ini menitik beratkan, misalnya, pada “the novelist, his imagina¬tion, insight, and spontaneity” Lebih lanjut, Abrams menjelaskan: “This is based on the ex¬pressive theory which considers a work of art as essentially the internal made external, resulting from a creative process operating under the impulse of feeling, and embodying the combined product of the novelist’s perceptions, thoughts, and feelings. The primary source and subject matter of a novel therefore are the attributes and actions of the novelist’s mind (Abrams, 1956:22). (Telaah ini didasarkan pada teori ekspresif yang memandang suatu karya seni yang secara esensial sebagai dunia internal (pengarang) yang terungkap sehingga menjadi dunia eksternal (berupa karya seni); perwujudannya melalui proses kreatif, dengan titik tolak dorongan perasaan pengarang; dan hasilnya adalah kombinasi antara persepsi, pikiran dan perasaan pengarangnya. Sumber utama dan pokok masalah suatu novel, misalnya, adalah sifat-sifat dan tindakan-tindakan yang berasal dari pemikiran pengarangnya).
3
Di sisi lain Rohrberger
dan Woods (1971:8) memandang pendekatan ekspresif ini sebagai pendekatan
biografis. Dalam kaitan ini, mereka menjelaskan: “The biographical approach
refers
to the necessity for an
appreciation of the ideas and personality of the author to an understanding of
the literary object. On the basis of this approach, a work of art is a
reflection of a personality, that in the esthetic experience the reader shares
the authors’ consciousness, and that at least part of the readers’ response is
to the author’s personality. Consequently, we attempt to learn and to apply
this knowledge in our attempt to understand his writing(s). (Pendekatan
biografis menyaran pada perlunya suatu apresiasi terhadap gagasan-gagasan dan
kepribadian pengarang untuk memahami obyek literer. Atas dasar pendekatan ini,
karya seni dipandang sebagai refleksi kepribadian pengarang, yang atas dasar
pengalaman estetis pembaca dapat menangkap kesadaran pengarangnya; dan yang
setidak-tidaknya.sebagian respon pembaca mengarah kepada kepribadian
pengarangnya. Untuk itu, dengan pendekatan ekspresif penelaah hendaknya
mempelajari pengetahuan tentang pribadi pengarang guna memahami karya seninya).
Telaah dengan pendekatan ekspresif dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pengarang dalam mengungkapkan gagasan-gagasan, imajinasi, spontatanitasnya dan sebagainya.
Telaah dengan pendekatan ekspresif dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pengarang dalam mengungkapkan gagasan-gagasan, imajinasi, spontatanitasnya dan sebagainya.
Ada keberatan dan
kritik bagi pendekatan ekspresif, antara lain disampaikan oleh kaum
formalis, strukturalis, dan pragmatis.
Terhadap keberatan berbagai pihak ini, Juhl mencoba untuk mempertahankan
kedudukan penulis karya sastra sebagai faktor yang menentukan dalam penafsiran
karya sastra. Alasannya ada tiga. Pertama, ada kaitan logik antara pernyataan
mengenai arti sebuah karya sastra dan pernyataan mengenai niat penulisnya.
Kedua, penulis adalah orang yang nyata-nyata terlibat dalam dan
ebrtanggungjawab atas proposisi yang diajukan dalam karyanya. Ketiga, karya
sastra mempunyai satu dan hanya satu arti. Niat bukanlah yang dinyatakan secara
eksplisit oleh penulis mengenai rencana atau motif ataupun susunan karyanya,
melainkan apa yang diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan dalam karyanya.
Niat bukanlah sesuatu yang dipikirkan sebelum penciptaan atau penulisan karya
sastra. Niat justru terwujud dalam proses perumusan kalimat-kalimat yang
dipakai dalam karya (Teeuw, 1984 :176-177).
4
B.
Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif ialah pendekatan karya sastra
yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra. Pembicaraan kesusastraan
tidak akan ada bila tidak ada karya sastra. Karya sastra menjadi sesuatu yang
inti (Junus, 1985:2). Di bidang ilmu sastra, penilaian yang menitikberatkan
kajiannya pada karya sastra di rintis oleh kelompok peneliti Rusia tahun 1915-1930.
Mereka biasanya disebut kaum formalis, dengan tokoh utama Roman Jakobson,
Shklovsky, Eichenbaum, dan Tyanjanov. Pada awalnya, para formalis
pertama-pertama ingin membebaskan ilmu sastra dari kungkungan ilmu-ilmu lain ,
misalnya psikologi, sejarah, atau kebudayaan (Teeuw, 1984 : 128-129).
Karena tidak puas dengan cara kerja kritik
spritualitas poetika Romantik, kaum formalis Rusia mengusahakan pendekatan
teori sastra dengan tujuan untuk menggali apa yang secara khusus bersifat
kesusastraan dalam berbagi teks. Studi-studi formalis menjadi mantap sebelum
Revolusi 1917. Kaum formalis berpendapat bahwa kesusastraan sebagai satu
pemakaian bahasa yang khas mencapai perwujudannya lewat deviasi dan distori
dari bahasa praktis. Bahasa praktis digunakan untuk tindak komunikasi,
sedangkan bahasa sastra tidak mempunyai fungsi praktis. Kaum formalis
memperkenalkan konsep defamiliarisasi dan deotomatisasi (Selden, 1985: 8-11).
Karya sastra dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi refensial atau
mimetiknya. Karya sastra menjadi tanda yang otonom, yang berhubungan dengan
kenyataan yang bersifat tidak langsung. Konsep yang penting kaum formalis
adalah konsep dominan, ciri menonjol atau utama dalam sebuah karya sastra,
misalnya rima, matra, irama, aliterasi dan asonansi (Teeuw, 1984: 12-14).
Sebagai bentuk perkembangan formalisme dalam kajian
sastra, muncul kajian strukturalisme, kajian sastra harus berpusat pada karya
sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan sastrawan sebagai pencipta atau pembaca
sebagai penikmat. pengarang telah mati (Selden, 1985:2). Analisis struktural
bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan semendalam
mungkin berkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang
bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Dalam pandangan struktural yang
sebenarnya, tidak mungkin ada pembedaan bentuk dan isi.
5
Bentuk diberi makna dalam kaitannya dengan isi. Isi
diberi pencerahan oleh gejala bentuk yang terpadu dengannya (Teeuw,
1984:132-136). Banyak kritik yang ditujukan kepada strukturalisme. Menurut
Teeuw (1984: 139-140), kelemahan kajian struktural berpangkal pada empat hal.
Pertama, kajian struktural belum merupakan teori sastra. Kedua, karya sastra
tidak dapat diteliti secara terasing , tetapi harus dipahami dalam rangka sistem
sastra dengan latar belakang sejarah. Ketiga, adanya struktur yang objektif
pada karya sastra makin diasingkan. Keempat, analisis yang menekankan otonomi
karya sastra juga menghilangkan konteks dan fungsinya sehingga karya itu
dimenaragadingkan dan kehilangan hubungan sosialnya.
Ada beberapa kritik Junus (1980: 1-20) terhadap
strukturalisme. Menurut Junus, kaberhasilan penelitian strukturalisme lebih
banyak ditentukan oleh kualitas penelitinya dibandingkan dengan keunggulan
metode dan teorinya. Selain itu, kekurangan strukturalisme adalah sebagai
berikut . pertama, strukturalisme mengabaikan hakikat kesejarahan. Ia hanya
bekerja secara sinkronis sehingga tidak dapat mempelajari perubahan. Kedua,
strukturalisme merupakan generasi kosong kerena mengabaikan keistimewaan yang
mungkin ada pada suatu karya. Kreativitas seorang sastrawan tidak diperhatikan.
Ketiga, strukturalisme terlalu menyederhanakan kepada pemikiran oposisi duaan
(binary) sehingga mengabaikan kompleksitas karya sastra tanpa suatu nilai estetika.
Keempat , strukturalisme bersifat netralitas pluralistik, melihat suatu karya
sastra tanpa suatu nilai estetika. Dalam perkembangannya, muncul jenis
strukturalisme yang lain seperti yang ditunjukkan oleh aliran strukturalisme
genetik. Kajian strukturalisme genetik merupakan kajian terhadap karya sastra yang
digabungkan dan dilengkapi dengan kajian terhadap diri pengarang.
Strukturalisme genetik dikembangkan oleh sosiolog Prancis , Lucien Goldmann. Menurut
Goldmann, studi karya sastra harus dimulai dengan analisis struktur. Ia
membatasi penyelidikannya pada novel yang mempunyai wira bermasalah dan
merupakan karya yang kuat, yang mempunyai kesatuan di samping keragaman. Menurut
Goldmann struktur kemaknaan itu mewakili pandangan dunia penulis, tidak sebagai
individu, tetapi sebagai struktur mental
transindividu dari sebuah kelompok sosial atau wakil golongan masyarakatnya.
Atas dasar pandangan dunia penulis tersebut, peneliti karya sastra dapat
membandingkannya dengan data-data dan analisis keadaan social masyarakat yang
bersangkutan.
6
Dalam arti ini karya sastra dapat dipahami dari
latar belakang struktur sosial tertentu atau menerangkan karya sastra dari
homologi, penyesuaiannya dengan struktur sosial, (Teeuw, 1984: 152-153; Junus,
1986: 24-26; Boelhower, 1981: Eagleton, 2002: 39, faruk, 1994).
Ada beberapa kelemahan
strukturalisme genetik yang dirangkum oleh Junus (1986). Pertama, Goldmann
mengabaikan hakikat sastra yang mempunyai dunia dan tradisi sendiri. Kedua,
cirri karya sastra yang berhasil tidak hanya didasarkan pada kesatuan. Ketiga,
konsep wira bermasalah hanya berdasarkan fenomena sastra Prancis. Keempat,
sastrawan tidak hanya sebagai wakil golongan masyarakatnya, tetapi juga
mempunyai pikiran sendiri dan melihat fenomena dengan cara pandangnya sendiri.
Kelima, sastrawan tidak mungkin mewakili keseluruhan zamannya. Dalam kerjanya,
pendekatan objektif akan memahami sistem di dalam karya sastra. Unsur sistem
itu disebut unsur intrinsik.
C.
Pendekatan Mimetik.
Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang
mendasarkan pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau
lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu.
Perhatian penelaah adalah pada “the rela¬tionship between the work of art and
the universe that it pretends to produce (hubungan antara karya seni dan
realitas yang melatarbelakangi kemunculannya).” Dalam hubungan ini Lewis
menjelaskan : “This approach views art as an imita¬tion of aspects of the
universe, of external and immutable ideas, of eternal and unchanging patterns
of sound, sight, movement, or form ( pendekatan ini memandang seni sebagai
tiruan dari aspek-aspek realitas, dari gagasan-gagasan eksternal dan abadi,
dari pola-pola bunyi, pandangan, gerakan, atau bentuk yang muncul secara terus
menerus dan tidak pernah berubah)” (Lewis, 1976:46).
Serupa dengan Lewis, Rohrberger dan Woods memandang pendekatan mimetik sebagai pendekatan historis-sosiologis. Katanya: “The sociological-historical approach refers to an approach that locates the real work in reference to the civilization that produced it.
Serupa dengan Lewis, Rohrberger dan Woods memandang pendekatan mimetik sebagai pendekatan historis-sosiologis. Katanya: “The sociological-historical approach refers to an approach that locates the real work in reference to the civilization that produced it.
Civilization here can be defined as the attitudes
and actions of a specific group of people and point out that literature takes
these attitudes and actions as its subject matter (pendekatan
sosiologis-historis menyaran kepada pendekatan yang menempatkan karya yang
sebenarnya dalam hubungannya dengan peradaban yang menghasilkannya.
7
Peradaban di sini dapat didefenisikan sebagai
sikap-sikap dan tindakan-tindakan kelompok masyarakat tertentu dan
memperlihatkan bahwa sastra mewadahi sikap-sikap dan tindakan-tindakan mereka
sebagai persolan pokoknya)” ( (Rohrberger dan Woods, 1971:9).
Dalam mengimplementasikan pendekatan-pendekatan di atas, penelaah pertama memahami suatu karya atas dasar teks tertulis; kedua dia memandang teks tertulis itu sebagai pengungkapan pengalaman, perasaan, imajinasi, persepsi, sikap dan sebagainya; dan kedua dia menghubungkannya dengan realitas yang terjadi di masyarakatnya.
Langkah-langkah ini pernah dilakukan Fatchul Mu’in (2001) ketika dia menelaah novel Native Son karya Richard Wright dalam tesisnya yang berjudul Richard Wright’s Native Son: A Study of White Domination and Its Effects on African Americans. Katanya :”In implementing those approaches, the writer of this thesis comprehends Richard Wright’s Native Son on the basis of its written text, then regards it as Richard Wright’s experience, feeling, imagination, perceptions, etc. After that the writer relates it (the novel) to the universe or the American life as the background of the production of the novel. (dalam mengimplementasikan pendekatan-pendekatan itu, penulis tesis ini memahami Native Son karya Richard Wright atas dasar teks tertulisnya, kemudian memandangnya sebagai ungkapan pengarang novel itu tentang pengalamannya, perasaannya, imajinasinya dan sebagainya. Setelah itu, dia menghubungkan novel itu dengan realitas atau kehidupan Amerika sebagai latar belakang penulisan novel itu sendiri)”.
Dilihat dari sudut pandang penciptaan atau kepengarangan, dapat dikatakan bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan dari sang pengarangnya. Dalam kaitan ini, dalam proses kepengarangan, sang pengarang itu tentu tidak asal mengarang atau menulis karya sastra; dia tentu terlebih dahulu melakukan observasi dan lalu melakukan komtemplasi (perenungan) atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakatnya. Melalui proses observasi dan komtemplasi, dia melakukan imajinasi dakam rangka untuk menciptakan karya sastra (berkreasi). Singkat kata, melalui proses-proses itu maka terwujudlah suatu karya sastra.
Karena karya sastra banyak berkait dengan persoalan-persoalan kemanusia, maka untuk dapat memahaminya kita perlu mengkaitkannya dengan bidang-bidang atau disiplin-disiplin sosial/ humaniora lainnya. Pemahaman dengan cara yang demikian mengacu kepada pemahaman karya sastra secara interdisipliner.
Dalam mengimplementasikan pendekatan-pendekatan di atas, penelaah pertama memahami suatu karya atas dasar teks tertulis; kedua dia memandang teks tertulis itu sebagai pengungkapan pengalaman, perasaan, imajinasi, persepsi, sikap dan sebagainya; dan kedua dia menghubungkannya dengan realitas yang terjadi di masyarakatnya.
Langkah-langkah ini pernah dilakukan Fatchul Mu’in (2001) ketika dia menelaah novel Native Son karya Richard Wright dalam tesisnya yang berjudul Richard Wright’s Native Son: A Study of White Domination and Its Effects on African Americans. Katanya :”In implementing those approaches, the writer of this thesis comprehends Richard Wright’s Native Son on the basis of its written text, then regards it as Richard Wright’s experience, feeling, imagination, perceptions, etc. After that the writer relates it (the novel) to the universe or the American life as the background of the production of the novel. (dalam mengimplementasikan pendekatan-pendekatan itu, penulis tesis ini memahami Native Son karya Richard Wright atas dasar teks tertulisnya, kemudian memandangnya sebagai ungkapan pengarang novel itu tentang pengalamannya, perasaannya, imajinasinya dan sebagainya. Setelah itu, dia menghubungkan novel itu dengan realitas atau kehidupan Amerika sebagai latar belakang penulisan novel itu sendiri)”.
Dilihat dari sudut pandang penciptaan atau kepengarangan, dapat dikatakan bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan dari sang pengarangnya. Dalam kaitan ini, dalam proses kepengarangan, sang pengarang itu tentu tidak asal mengarang atau menulis karya sastra; dia tentu terlebih dahulu melakukan observasi dan lalu melakukan komtemplasi (perenungan) atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakatnya. Melalui proses observasi dan komtemplasi, dia melakukan imajinasi dakam rangka untuk menciptakan karya sastra (berkreasi). Singkat kata, melalui proses-proses itu maka terwujudlah suatu karya sastra.
Karena karya sastra banyak berkait dengan persoalan-persoalan kemanusia, maka untuk dapat memahaminya kita perlu mengkaitkannya dengan bidang-bidang atau disiplin-disiplin sosial/ humaniora lainnya. Pemahaman dengan cara yang demikian mengacu kepada pemahaman karya sastra secara interdisipliner.
8
Ada beberapa kritik
yang ditujukan kepada pendekatan ini. Antara lain kritik yang menyatakan bahwa
pendekatan ini terlalu memperhatikan aspek nonsastra. Jika hal itu terjadi, penelitian yang menggunakan
pendekatan ini harus bisa memadukan analisisnya yaitu analisis terhadap sastra
dan analisis di luar sastra.
D.
Pendekatan Pragmatik.
Pendekatan pragmatik
adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan
pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra. Pembaca sangat
berperanan dalam menentukan sebuah karya itu merupakan karya sastra atau bukan.
Sadar atau tidak, akhirnya karya sastra akan sampai juga kepada pembaca,
ditujukan kepada pembaca.
Sebagai sebuah keutuhan
komunikasi sastrawan –karya sastra-pembaca, maka pada hakikatnya karya yang
tidak sampai ke tangan pembacanya, bukanlah karya sastra (Siswanto dan Roekhan,
1991/1992:30). Karya sastra tidak mempunyai keberadaan nyata sampai karya
sastra itu dibaca. Pembacalah yang menerapkan kode yang ditulis sastrawan untuk
menyampaikan pesan. (Selden, 1985:106-107). Horatius dalam Ars Poetica (14 SM) menyatakan bahwa tujuan penyair ialah berguna
member nikmat, ataupun sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk
kehidupan. Horatius menggabungkan kata utile dan dulce, yang beramanfaat dan
yang enak, secara bersama-sama . Dari pendapatnya inilah awal pendekatan
pragmatik.
Tokoh yang menonjol
dalam mengembangkan pendekatan pragmatik adalah Wolfgang Iser dan Hans Robert
Jausz sehingga dikenal adanya kajian tentang resepsi sastra atau resepsi
estetik (Junus, 1985). Selain itu, dikenal juga tokoh lain, seperti Gerarld
Prince, Husserl, Heidegger, Gadamer, Stanley Fish, Michael Riffaterre, jonathan
Culler, Norman Holland, dan David Bleich (Selden, 1985). Resepsi sastra adalah
kajian yang mempelajari bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya
sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan
terhadapnya, baik tanggapan pasif maupun aktif (Junus, 1985). Pentingnya
peranan pembaca dalam memberikan arti terhadap karya sastra dapat dilihat pada
kenyataan bahwa karya yang sama akan dimaknai secara berbeda oleh pembaca yang
berbeda. (Junus, 1985).
9
Dalam bidang kritik,
Damono (1983) menyatakan , “Dua orang kritikus tidak mungkin menghasilkan
kritik-kritik yang sama meskipun mereka telah bertemu dengan sajak yang sama”.
E.
Pendekatan Interdisipliner Sastra.
Pendekatan interdisipliner dalam studi sastra
mengacu kepada pendekatan yang melibatkan sejumlah disiplin sosial/ humaniora
lainnya. Pendekatan ini telah banyak dilakukan dalam studi sastra pada Program
American Studies. Pendekatan interdisipliner seperti yang disarankan oleh
McDowel sebagai berikut: (dalam studi pengkajian Amerika, suatu karya sastra
dipandang sebagai bukti mental (mental evidence) untuk menjelaskan kebudayaan
Amerika secara luas (yang menyangkut keseluruhan hubungan dan akibat hubungan
antara orang-orang kulit putih dan kulit hitam); suatu karya sastra dipandang
sebagai dunia kecil (mikrokosmos) yang dimanfaatkan untuk menjelaskan dunia
besar (makrokosmos). Novel Native Son karya Richard Wright yang menggambarkan
kehidupan seorang kulit hitam. Jadi, Bigger Thomas sebagai seorang kulit hitam
dalam novel itu merupakan perwujudan dari orang-orang Amerika kulit hitam;
sedangkan keluarga Dalton merupakan perwujudan orang-orang Amerika kulit
putih)”. Ilustrasi lain tentang penerapan pendekatan interdisipliner untuk
memahami novel karya Richard Wright yang berjudul Native Son. Dalam novel ini
pengarang mengetengahkan model/pola hubungan antara orang-orang Amerika kulit
putih dan kulit hitam. Menurut hemat penulis, pengarang novel ini tampak netral
dalam pola hubungan itu. Pada satu sisi, walaupun dia berkulit hitam, dia
mengkritisi sesama orang kulit hitam yang malas, munafik, tak berdaya dan
tergantung pada orang kulit putih; pada sisi lain, dia mengecam keras
orang-orang kulit putih yang menekan, menzalimi, sewenang-wenang dan sejenisnya
terhadap orang-orang kulit hitam. Dalam pola hubungan itu terjadi dominasi
orang kulit putih diikuti oleh efek-efek negatif bagi kaum kulit hitam.
Dari perspektif sejarah, misalnya, sebagian besar orang-orang Amerika kulit hitam adalah bekas budak, sehingga ketika mereka menjadi orang-orang bebas (freedmen), mereka dipandang sebagai bermartabat rendah (inferior) dan tidak layak untuk diposisikan sederajat dengan orang-orang kulit putih. Sehingga, dalam perspektif sosiologi (sistem kelas sosial) orang-orang kulit putih memandang diri mereka sebagai superior dan orang-orang kulit hitam sebagai inferior dan diperlakukan secara tidak adil. Orang-orang kulit hitam diposisikan dalam warga negara kelas dua (second-class citizens).
Dari perspektif sejarah, misalnya, sebagian besar orang-orang Amerika kulit hitam adalah bekas budak, sehingga ketika mereka menjadi orang-orang bebas (freedmen), mereka dipandang sebagai bermartabat rendah (inferior) dan tidak layak untuk diposisikan sederajat dengan orang-orang kulit putih. Sehingga, dalam perspektif sosiologi (sistem kelas sosial) orang-orang kulit putih memandang diri mereka sebagai superior dan orang-orang kulit hitam sebagai inferior dan diperlakukan secara tidak adil. Orang-orang kulit hitam diposisikan dalam warga negara kelas dua (second-class citizens).
10
Dalam perspektif politik, kita dapat melihat adanya
ketidaksamaan hak politik antara kulit putih dan kulit hitam. Menurut aturan
dasar sebagaimana tersurat dalam Declaration of Independence, bahwa ‘all men
are created equal’. Namun, dalam sejarah politik Amerika tampak terjadi
pengingkaran terhadap salah satu doktrin dalam deklarasi itu. Dalam perspektif
psikologi, kita dapat melihat adanya perasaan rendah diri, tak percaya diri,
takut, dan sejenisnya pada orang kulit hitam, yakni sebagai akibat penindasan
mental yang dilakukan oleh orang kulit putih terhadap mereka, secara turun temurun
mulai masa perbudakan hingga saat ditulisnya novel tersebut.
Dari perspektif ekonomi (dunia usaha), kita dapat
melihat pola hubungan usaha yang tidak imbang antara orang kulit hitam dan
kulit putih, di mana, antara lain, kesempatan usaha pada orang kulit hitam
sangat dibatasi oleh orang kulit putih. Bidang kajian sastra yang merupakan
interdisiplin ilmu lain adalah psikologi sastra. Psikologi sastra mempunyai
empat kemungkinan pengertian. Pertama, studi psikologi pengarang sebagai
tipe-tipe atau sebagai pribadi. Kedua, studi proses kreatif. Ketiga, studi tipe
dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat, studi
dampak sastra terhadap pembacanya (Wellek dan Warren, 1976).
Jika dikatakan bahwa karya sastra merupakan
fenomena kehidupan manusia, yang secara garis besar menyangkut: (a) persoalan
manusia dengan dirinya sendiri, (b) hubungan manusia dengan manusia lain dalam
lingkup sosial termasuk dalam hubungannya dengan lingkungan alam, dan (c)
hubungan manusia dengan Tuhannya (Nurgiyantoro, l998:323), maka banyak sisi
kehidupan manusia yang (dapat) dicakup oleh karya sastra, misalnya, kesedihan,
kegelisahan, kekecewaan, kemarahan, keheranan, protes, dan pikiran atau opini.
dan lingkungan, tatanan sosial, tatanan politik dan sejenisnya. Dengan
demikian, karya sastra identik (walau tidak persis sama) dengan berita di
koran, laporan penelitian antropologi, sosiologi, psikologi dan sejarah. Sebab,
karya sastra dan karya non sastra tersebut berbicara tentang manusia, kehidupan
manusia, peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengannya, tempat dan waktunya.
Hal yang membedakan adalah cara menyatakannya dan asumsi pembaca terhadap jenis
tulisan tersebut.
Cara menyatakan petani melarat dalam bahasa karya sastra akan berbeda dengan cara yang digunakan dalam bahasa antropologi, sosiologi, psikologi dan berita di koran, meskipun fakta yang ditulis sama.
Cara menyatakan petani melarat dalam bahasa karya sastra akan berbeda dengan cara yang digunakan dalam bahasa antropologi, sosiologi, psikologi dan berita di koran, meskipun fakta yang ditulis sama.
11
Demikian pula, asumsi pembaca terhadap teks sastra
dan teks non sastra tampak berbeda. Secara umum orang beranggapan bahwa karya
sastra itu selalu imaginer, fiktif atau khayal belaka; dan bahwa laporan
penelitian antropologi, sosiologi, psikologi, sejarah dan berita di koran
selalu nyata dan benar adanya. Benarkah bahwa seorang sastrawan menulis
karyanya tidak berdasar pada fakta di zamannya sehingga tulisannya bersifat
fiktif belaka? Sebaliknya, apakah seorang sejarawan, sosiolog, antropolog, atau
reporter menulis fakta di lapangan secara benar-benar obyektif, independen,
tanpa dipengaruhi subyektifitas, kepentingan dan ideologi?
Atau, barangkali orang akan mengatakan bahwa ketika
karya sastra dan karya non sastra telah menjadi karya teks bisa saja mengandung
unsur subyektif bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda? Memang,
sepengetahuan penulis, orang-orang yang mengatakan bahwa karya sastra itu
–walaupun bersifat imaginer, fiktif, khayal alias tidak nyata- mengetengahkan
fakta tentang kehidupan manusia dan sejumlah sisi yang menyertainya, adalah
mereka yang menggeluti atau berkecimpung dalam dunia sastra. Sementara
masyarakat secara umum dan kalangan akademisi tertentu menganggap bahwa karya
sastra adalah benar-benar imaginer, fiktif, atau dunia rekaan pengarang yang
kurang, atau bahkan tidak, berhubungan dengan dengan sejarah, sosiologi,
psikologi, studi pembangunan, politik, moral, agama dan sebagainya.
Dengan cara pandang interdisipliner kita akan dapat melihat bahwa disiplin-disiplin tertentu tidak lebih unggul atau lebih favorit daripada yang lain. Sebab, setiap disiplin memiliki kekurangan dan kelebihan dalam melihat fenomena kehidupan manusia; setiap disiplin memiliki obyek dan permasalahan yang diselesaikan dengan caranya yang khas dan tidak dapat diselesaikan oleh oleh disiplin lain. Cara Pandang interdisipliner dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang memiliki banyak sisi. Atau dengan perkataan lain, cara pandang interdisipliner dalam kasus-kasus tertentu sangat diperlukan, karena penjelasan yang menyeluruh terhadap satu hal atau fenomena dapat diperoleh.
Karya sastra, novel misalnya, dapat dipandang sebagai potret kehidupan manusia. Di dalamnya, sang pengarang mengetengahkan model kehidupan para tokoh dan kondisi sosial yang antara lain mencakup struktur sosial, hubungan sosial, pertentangan sosial, hubungan kekeluargaan, dominasi kelompok yang kuat terhadap yang lemah, dan sisi-sisi kehidupan sosial lainnya, seperti layaknya kehidupan nyata.
Dengan cara pandang interdisipliner kita akan dapat melihat bahwa disiplin-disiplin tertentu tidak lebih unggul atau lebih favorit daripada yang lain. Sebab, setiap disiplin memiliki kekurangan dan kelebihan dalam melihat fenomena kehidupan manusia; setiap disiplin memiliki obyek dan permasalahan yang diselesaikan dengan caranya yang khas dan tidak dapat diselesaikan oleh oleh disiplin lain. Cara Pandang interdisipliner dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang memiliki banyak sisi. Atau dengan perkataan lain, cara pandang interdisipliner dalam kasus-kasus tertentu sangat diperlukan, karena penjelasan yang menyeluruh terhadap satu hal atau fenomena dapat diperoleh.
Karya sastra, novel misalnya, dapat dipandang sebagai potret kehidupan manusia. Di dalamnya, sang pengarang mengetengahkan model kehidupan para tokoh dan kondisi sosial yang antara lain mencakup struktur sosial, hubungan sosial, pertentangan sosial, hubungan kekeluargaan, dominasi kelompok yang kuat terhadap yang lemah, dan sisi-sisi kehidupan sosial lainnya, seperti layaknya kehidupan nyata.
12
Dengan demikian, menghayati dan memahami karya
sastra sama halnya menghayati dan memahami manusia dan kehidupannya dalam
segala segi, yang pada hakikatnya masing-masing segi tersebut dapat dipelajari
oleh disiplin-disiplin ilmu yang bergayut dengan manusia (ilmu-ilmu
humaniora/sosial) lain.
Bila studi sastra secara interdisipliner bisa memanfaatkan disiplin-disiplin ilmu humaniora/sosial yang lain, maka pada gilirannya studi sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi misalnya) bisa memanfaatkan karya sastra sebagai salah satu sumber datanya. Dalam kaitan ini, menurut Selden (l989), karya sastra pun dapat dianggap sebagai data sejarah, antropologi, psikologi, dan disiplin-disiplin ilmu humaniora/sosial yang lain.
Memahami karya sastra dengan cara pandang interdisipliner memungkinkan kita untuk mengerahui banyak fenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia sebagaimana tercermin dalam karya sastra.
Bila studi sastra secara interdisipliner bisa memanfaatkan disiplin-disiplin ilmu humaniora/sosial yang lain, maka pada gilirannya studi sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi misalnya) bisa memanfaatkan karya sastra sebagai salah satu sumber datanya. Dalam kaitan ini, menurut Selden (l989), karya sastra pun dapat dianggap sebagai data sejarah, antropologi, psikologi, dan disiplin-disiplin ilmu humaniora/sosial yang lain.
Memahami karya sastra dengan cara pandang interdisipliner memungkinkan kita untuk mengerahui banyak fenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia sebagaimana tercermin dalam karya sastra.
13
Bab. III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada akhirnya dapat kami simpulkan
beberapa hal pada materi ini, di antaranya pembagian pendekatan sastra ada
empat, antara lain : pendekatan ekspresif yaitu pendekatan dalam kajian sastra
yang menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan dan temprament penulis,
pendekatan objektif yaitu pendekatan sastra yang menitikberatkan kajiannya pada
karya sastra, pendekatan mimetik adalah pendekatan sastra yang menitikberatkan
pada kajiannya terhadap hubungan karya sastra yang kenyataannya di luar karya
sastra (meliputi imitasi dan realitas), pendekatan pragmatik adalah pendekatan
sastra yang menitikberatkan pada peranan pembaca dalam menerima, memahami dan
menghayati karya sastra, dan yang terakhir pendekatan interdisipliner adalah
pendekatan sastra yang menitikberatkan pada ilmu sastra dengan ilmu lain.
Misalnya , psikologi sastra, sosiologi sastra, sejarah sastra dan pendidikan
sastra.
Saran
Demikian yang dapat kami paparkan
mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan - kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan - kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
14
Daftar Bacaan
Abrams, M.H. 1971. The Mirror
and the Lamp. Oxford : Oxford University Press.
Abrams, M.H. 1993 . A Glossary of Literary Terms. Fort Worth : Harcourt Brace Press.
Aminuddin. 1995. Pengantar Aspresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Elkins, Deborah. 1976. Teaching Literature, Design for Cognitive Development. Ohio : A bell & Howell Company.
Aminuddin. 1995. Pengantar Aspresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Elkins, Deborah. 1976. Teaching Literature, Design for Cognitive Development. Ohio : A bell & Howell Company.
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta : Muhammadiyah University Press.
Fatchul Mu’in. 2001. Richard Wright’ Native Son: A Study of White Dominaation and Its Effects on African-Americans. (Thesis S-2). Yogyakarta : Gadjah Mada University
Hoerip, Satyagraha.(Editor). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta : Sinar Harapaan.
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta : Muhammadiyah University Press.
Fatchul Mu’in. 2001. Richard Wright’ Native Son: A Study of White Dominaation and Its Effects on African-Americans. (Thesis S-2). Yogyakarta : Gadjah Mada University
Hoerip, Satyagraha.(Editor). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta : Sinar Harapaan.
Lewis, Leary. 1976. American Literature: A Study and Research Guide. New York: St. Martin’s Press.
McDowell, Tremaine. 1948. American Studies. Menneapolis: The Universitas of Menneapolis.
Rohrberger, Mary & Samuel H. Woods. 1971. Reading and Writing about Lirature. First Edition. New York : Random House.
Stowe, Hariet Beecher. 1852. Uncle Tom’s Cabin. New York : Harcourt, Brace & World, Inc.
Wright, Richard. 1966. Native Son. New York : Harper & Row Publishers, Inc.
Abrams, M.H. 1993 . A Glossary of Literary Terms. Fort Worth : Harcourt Brace Press.
Aminuddin. 1995. Pengantar Aspresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Elkins, Deborah. 1976. Teaching Literature, Design for Cognitive Development. Ohio : A bell & Howell Company.
Aminuddin. 1995. Pengantar Aspresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Elkins, Deborah. 1976. Teaching Literature, Design for Cognitive Development. Ohio : A bell & Howell Company.
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta : Muhammadiyah University Press.
Fatchul Mu’in. 2001. Richard Wright’ Native Son: A Study of White Dominaation and Its Effects on African-Americans. (Thesis S-2). Yogyakarta : Gadjah Mada University
Hoerip, Satyagraha.(Editor). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta : Sinar Harapaan.
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta : Muhammadiyah University Press.
Fatchul Mu’in. 2001. Richard Wright’ Native Son: A Study of White Dominaation and Its Effects on African-Americans. (Thesis S-2). Yogyakarta : Gadjah Mada University
Hoerip, Satyagraha.(Editor). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta : Sinar Harapaan.
Lewis, Leary. 1976. American Literature: A Study and Research Guide. New York: St. Martin’s Press.
McDowell, Tremaine. 1948. American Studies. Menneapolis: The Universitas of Menneapolis.
Rohrberger, Mary & Samuel H. Woods. 1971. Reading and Writing about Lirature. First Edition. New York : Random House.
Stowe, Hariet Beecher. 1852. Uncle Tom’s Cabin. New York : Harcourt, Brace & World, Inc.
Wright, Richard. 1966. Native Son. New York : Harper & Row Publishers, Inc.
Wellek, Rene &
Warren, Austin.1956. Theory of Literature. New York : Harcourt, Brace &
World, Inc.
Wright, Richard. 1966. Native Son. New York : Harper & Row Publishers, Inc.
Wright, Richard. 1966. Native Son. New York : Harper & Row Publishers, Inc.
15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar