Sabtu, 24 Maret 2012

cinta sejati ( cerpen )



Cinta Sejati

 Oleh : Azizah Nur Fitriana*

Suatu senja di Berastagi, langit warna jingga diiringi angin yang bertiup kencang. Musim hujan tiba di Berastagi, orang-orang berlalu lalang dengan sweter rajutan dan syal yang menutupi leher.
Aku berjalan di Pinggiran sungai tanah karo memandangi air begitu tenang yang telah menikahi ketenangan sejak ia di ciptakan. Aku merasakan angin begitu hebat mencumbu tubuhku. Aku kedinginan.
Seandainya di sini ada dia sang pujaan hati selama ini hadir dalam mimpiku pasti aku tak merasa dingin seperti ini. Sengaja aku berada di sini berharap akan kutemukan dia pangeran yang  menjemputku ke istana nya.
Sudah lama aku merasakan sepi bak hidup sebatangkara, aku telah melakukan semua keinginan orangtuaku ; menjadi seorang guru hingga S2, orangtuaku selalu meminta ku menuruti semua ingin nya.
Pernah sewaktu dulu secara diam-diam mereka meng ia kan lamaran seorang lelaki yang tak pernah ku ketahui sebelumnya, lelaki itu dua kali lebih dari usia ku yang masih duduk di bangku Smp.
Aku yang belum mengerti apa-apa tentang lamaran dan semacam nya, terkejut sekali ketika tanpa sengaja ku dengar samar-samar percakapan mereka di balik tirai dapur yang berdekatan dengan ruang tamu.
Sedari tadi aku berniat membuatkan teh dan semangkuk kolak untuk tamu yang ku kira rekan kerja Bapak di kantor camat ternyata dia lelaki jahat tak ku sangka.
Dengan pelan-pelan aku beranjak dari dapur menuju kamar ku yang tepat di balik tirai itu. Aku hempaskan tubuh ini pada kasur empukku tanpa tersadar bantal pun sudah basah oleh air yang keluar dari mataku. Tangiskku makin menjadi.
Ibu mendengar suara tangisku dari ruang tamu dengan segera melihatku, dan bertanya heran pada ku.
“Kamu kenapa Ning?” ucap Ibu dengan jemari membelai rambutku.
“Ibu bertanya ke..na..pa?” jawab ku terbata-bata.
“Apa yang menyebabkan Ning menangis?” Ibu semakin penasaran.
“Siapa lelaki tua itu Bu ?” Mengapa Ibu melakukan ini ?” Tanya ku parau.
Belum sempat Ibu menjawab, Bapak  dari ruang tamu memanggil-manggil Ibu.
“Bu… Hadi mau pamitan Bu” kata bapak setengah berteriak.
“iya Pak, sebentar …” jawab Ibu sembari meninggalkan ku di kamar.
“saya pamit pulang dulu ya Bu” ucap Hadi sambil mencium punggung tangan Ibu.
Di dalam kamar, Aku menuliskan sesuatu pada buku harian pemberian Anisa teman sebangku ku.
Siapa yang mampu menerjemahkan luka?
Terkadang , mimpi yang sebagai bunga tidur itu tak bisa aku terka apa maksudnya. Sebab segalanya terlihat samar.dan ………
Pintu kamar ku terbuka, jemariku terhenti seketika . Ibu menghilangkan sajak yang ada dalam pikiranku. Dengan segera ku tutup buku itu, tak ingin ibu mengetahui isi nya.
“Ning, maafkan Ibu dan Bapak ya Ning”  Ibu membelai rambutku.
            Bapak juga ikutan masuk ke kamar ku. Lengkaplah sudah satu keluarga di dalam kamarku.
            “Bapak sudah dengar tangisan mu tadi Ning” Bapak angkat suara.
            Aku masih diam tak angkat bicara, ku palingkan wajah ku ke arah boneka kesayangan ku. Aku pura-pura tak mendengar percakapan antara Bapak dan Ibu ku.
            “Ning, kamu nggak bisa perhatikan Bapakmu sebentar saja” Ibu memegang bahuku.
            “apa yang Bapak dengar tadi Pak ?” aku menangis lagi.
            “tidak seharusnya kamu menangis di saat Hadi bertamu ke rumah kita” Bapak menatapku serius.
            Aku tak mengerti apa maksud Bapak melakukan semua ini, bukan kah aku anak semata wayang nya apalagi aku ini cucu perempuan satu-satu nya dari nenek , Ibunya Ibuku.
            “Ning, masih ingin sekolah Pak,” tukasku.
            “siapa yang akan menghentikan sekolahmu Ning?” kali ini Ibu yang bertanya.
            “benar itu, kami sayang sekali sama kamu Ning!” ucap Bapak dengan lembut.
            “Sudahlah, aku ngantuk dan lelah ingin istirahat Pak.” dengan suara terisak-isak.
            Akhirnya Bapak dan Ibuku mengerti keinginan ku yang shock dengan kabar ini. Aku tertidur sempurna setelah peristiwa tadi.
***
Sekilas aku melihat bayangan wajah pangeran impian ku di genangan air sungai jernih ini. Dia tersenyum pada ku, aku mencubit tangan ku. Aduh…ternyata sakit dan bayangan itu pun menghilang.
            “Bu Nining, sedang apa di sini ?” Tanya seorang butet menghampiriku.
            “kamu buat saya terkejut saja,” jawabku tersenyum ramah.
            “mari kita pulang Bu, hari semakin petang” ajak butet menarik tangan ku.
            Aku mengikuti ajakan nya dan pulang ke rumah singgah tempat tinggal ku sementara.
            “Bu Ning, makan malam sudah di siapkan” ayo kita makan.” Teriak Ros dari balik pintu rumah.
            “iya sebentar lagi saya ke sana” jawabku bergegas keluar.
Di tempat ini kami biasa makan bersama mulai dari sarapan hingga makan malam, kebersamaan nya sangat terjaga.
            Aku jadi teringat Ibu dan Bapak ku di Riau sana, sedang apa mereka ? apakah rindu kepadaku ? aih. Ku rasa tidak.
            “silahkan makan seadanya Bu Ning,” Inang as yang lengkapnya asia menawariku.
            “iya Inang,” jawabku singkat.
Selepas makan malam kami biasanya bergurau ada juga yang menyirih, aku coba-coba ikut inang as makan sirih.
            “Pahit sekali rasanya inang” , ucapku sambil mengunyah sirih.
            “ahaha” , inang menertawakanku yang lucu mengunyah sirih ini.
            Malam semakin larut, udara pun tak terkatakan lagi dinginnya menusuk hingga tulang yang paling dalam. Aku menyudahi pertemuan kami malam ini dengan ucapan “selamat malam inang”.
            Ku kembali ke kamarku dan terlelap dalam indahnya mimpi sebagai bunga tidur malam ini.


Keesokan harinya aku bergegas menuju halaman luas nan sejuk udara di pagi hari. Aku harus menjalankan tugas ini sebagai pengabdianku terhadap Negara yang sebenar-benar menakjubkan ini.
“Bu Nining panggil seorang anak kecil dari kejauhan.
Aku menunggunya hingga berada di sampingku.
“hari ini kita membaca tentang apa Bu?” Tanya anak kecil yang memiliki lesung pipi di sebelah kiri.
“Kita membaca tentang legenda yang ada di Indonesia” , jawabku tersenyum.
Semua anak didikku telah berkumpul di sini, mereka tak berbutus asa untuk
tetap belajar demi mengejar angan dan cita yang mereka impikan. Aku akan berusaha mengajarkan kalian hingga mahir pun menjadi penerus bangsa yang handal.
            Sedang asyik belajar-mengajar dan tanya jawab bersama anak didikku, pandangan sekilas menatap kearah pemuda di bawah pohon kelapa itu.
            Ternyata dia dari tadi memperhatikan kami di sini, dan dia tersenyum kepadaku. Lalu mendekat ke arah kami belajar.
            “bolehkah aku ikut belajar bersama anak-anak ini?” Tanya nya kepadaku.
            “apa maksudmu bung ?” aku bertanya heran.
            Sudah sejak seminggu yang lalu aku memperhatikanmu diam-diam nona manis yang santun perkataannya.
            Lantas , mengapa engkau berminat ikut belajar bersama mereka ini ? bukan kah engkau sudah jauh lebih mengerti dari mereka tentang yang aku ajarkan ini?
            Aku ingin belajar caramu mengajarkan mereka agar aku lebih mengerti segala tentangmu nona manis.

            Hari semakin siang, matahari dengan gagahnya mengantar panas ke tempat kami belajar. Percakapan antara aku dengan pemuda terhenti sampai di sini. Aku dan anak didikku meninggalkan halaman ini kembali ke rumah masing-masing yang tak berjauhan jaraknya.
            Malam harinya kembali aku makan malam bersama inang As yang ku anggap sebagai ibuku sendiri.
            Kali ini mataku enggan untuk terpejam dan rasa kantukku entah berada di mana sehingga ku tak dapat dengan mudahnya menikmati indah mimpiku. Aku masih terbayang oleh sosok pemuda yang siang tadi menghampiriku. Dia seperti yang ada dalam mimpi-mimpiku selama ini. Apakah dia pangeran yang selama ini hadir dalam mimpiku ? aku terus terfikir tentangnya , wajahnya yang oval, matanya yang memancarkan ketenangan, rambutnya yang ikal, dan satu hal dia memakai kemeja biru yah biru salah satu warna kesukaanku.

Dengan kegiatan yang sama aku kembali mengajar anak didikku, pemuda itu telah lama menunggu kedatanganku, aku jadi salah tingkah.
“aku dating lagi nona manis” ucapnya sambil melambaikan tangannya.
Aku tak menghiraukan lambaian tangannya, aku terus saja mengajar dan mengajarkan anak didikku.
Sejenak aku teringat keadaan orang tuaku di Riau, semenjak peristiwa itu aku memilih untuk merantau ke desa ini, aku pergi diam-diam tanpa izin orang tuaku . hingga aku S2 aku tak mau menuruti keinginan mereka yang menyuruhku menikahi lelaki yang usianya sepertiga usiaku. Mungkin di sinilah aku menemukan pendamping hidup yang bisa menjadi imamku.
“Ibu kenapa menangis “ , Tanya mutia anak didikku.
“Tidak ada apa-apa sayang , lanjutkan menulisnya” aku mengusap air mata.
“nona manis, bolehkah aku mengenalimu lebih dekat?” pemuda itu mendekatiku.
Aku hanya tersenyum malu.

Pertemuan kami semakin sering dan keakraban telah menyatukan kami.
Aku tidak mengerti mengapa hatiku mengatakan bahwa pemuda ini yang selalu hadir dalam mimpiku, kuat sekali hatiku menyatakan peryataan itu. Entahlah yang pasti aku senang bertemu dengannya.
Mungkin inilah yang di namakan cinta sejati, seorang yang ku impikan telah ada di hadapanku. Aku bahagia telah menemukanmu pangeran impianku.



Keterangan (*): Mahasiswa Unimed jurusan bahasa dan sastra Indonesia dan bergiat di komunitas kepenulisan Kontan (Komunitas Tanpa Nama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar