ANALISIS CERPEN oleh
: azizah nur fitriana
Judul : Lindung yang Tak
Sempat Meneguk Batanghari
Unsur Intrinsik
Tema : Rumah Tangga
Harmonis
Latar
:
Ø Tempat
.
Hotel
: Udara hotel membekukan napas Lindung. Ia sejatinya benci gigitan udara
dingin. Tapi paling tidak, ia kini leluasa menanggalkan kepenatan yang
membungkus tubuhnya selama puluhan jam. Ya, perjalanan darat Medan-Jambi
benar-benar menyiksanya. Di dalam bus yang sesak, umpatan Lindung meliatkan
hatinya sendiri. Tak pernah terbayangkan jika siput uzur yang mengantarkanku
ke sini. Maka, ups, mandi adalah hal ingin ia nikmati. Berendam di bath
up! Ya, sebuah kamar di lantai empat telah menunggu. Namun, air hangat tak
sebenar mampu menyembuhkan kelelahan.
Sebenarnya,
pekerjaan Lindung sudah rampung sebelum waktunya. Tapi ia tak hendak memajukan
jadwal kepulangan. Kendati, demi Tuhan, Lindung tak menampik jika kerinduan
terhadap istri sering menyergap. Tadi malam, istrinya berkabar lewat pesan
singkat. Medan
hujan. Ingin aku berselimut di tubuhmu. Merebahkan diri di dadamu. Menghirup
aroma napasmu. Ah! Jambi pun sedang bergelimang hujan. Namun, ranjang dan
selimut hotel bukanlah Shinta...
Pulang
ke hotel tengah malam, ia sudah lelah. Paling, Lindung keluar untuk mencari
makanan. Menu hotel acap tak berjodoh dengan lidahnya. Bah, bangunan
mewah tak selalu memanjakan selera. Sebuah warung kusam di samping hotel lebih
paham kemauan perutnya. Pun, ia lebih sering menghabiskan secangkir kopi di
warung itu.
Kota
Medan :
perjalanan darat Medan-Jambi benar-benar menyiksanya. Di dalam bus yang sesak,
umpatan Lindung meliatkan hatinya sendiri.
Ponsel Lindung mengerjap, menerima pesan dari
Shinta. Adakah kekasihku melihat bintang malam ini? Berhias cahaya bulan
sabit.shinta berada di medan dan lintang suami
nya berada di Jambi.
Pertemuan-tak
sengaja- Lindung dengan mantan pacarnya, Mutiara. Lantas, pertemuan berlanjut
ke meja makan. Seterusnya, keluhan-keluhan tentang kondisi rumah tangganya pun
cucur begitu saja. Tak cukup sekali. Janji bersua dirancang ulang, dan
ditunaikan berkali-kali. Sampai akhirnya terendus Shinta.Ketika itu, Lindung
masih di medan.
Shinta pun tak lebih baik kondisi batinnya ketimbang
Lindung. Dalam keadaan tertekan, segala tindak-ucap Lindung-juga keluarga
suaminya- senantiasa menorehkan luka. Apalagi, setelah pengakuan Lindung
tentang pertemuan-pertemuan rahasianya dengan Mutiara, Shinta kalap hati. Dalam
hal ini, madu bagiku racun. Ceraikan aku! . kata istri nya lindung saat di kota medan.
Tapi
sikap dan kelakuanmu berkata seperti itu! Shinta berang.
Lindung bungkam. Membela diri sama saja memanjangkan percekcokan. Maka, ketika
perintah dinas lima
hari ke Jambi mengetuk meja kerjanya, ia langsung mengangguk. Tapi lagi,
pertengkaran sudah siap pula menyambut.
Medan
hujan lagi. Aku gigil dalam kerinduan. Shinta kembali menyapa.
Rumah : Pergilah! Kau sudah bikin janji
yang rapi dengan perempuan jalang itu kan?
Heh, jangan gampang menuduh! Jaga
mulutmu, Shinta! Amarah Lindung mendesakkan kalimat yang tak kalah pedas.
Kasar! Telapak tangannya mengokang ayunan, membidik wajah Shinta. Ayo,
tampar aku! Kau sama jalangnya dengan perempuan itu. Pandai kau membelanya, ya?
Lalu, tangis pun rubuh lebih deras dari guyur hujan yang menggedor malam.
Lindung kembali bungkam. Menahan diri, tepatnya. Ayunan tangannya surut.
Senyap. Hujan mengendap. Angin padam. Lantas, mereka berdua pun tidur saling
memunggungi. Kamar mendadak pasi. Keesokan harinya, selain kebisuan, lelehan air
mata Shinta turut melepas keberangkatan Lindung. Pertengkaran di rumah mereka.
Tadi malam, istrinya berkabar lewat pesan singkat. Medan hujan.
Ingin aku berselimut di tubuhmu. Merebahkan diri di dadamu. Menghirup aroma
napasmu. Ah!
haribaan Batanghari (jambi) : Nah, kini saya bawa
kamu naik kapal pesiar. He he. Saya sengaja sewa untuk kita berdua, ajak
Pak Sarimin setelah beberapa jam menyusuri jalanan kota Jambi. Lantas, mereka pun sudah berada
di haribaan Batanghari,
Sudah. Aku kini di atas perahu ketek.
Menjelajahi Batanghari. Oya, besok aku pulang. Mau oleh-oleh apa? Lindung mengirim sms kepada istri nya.
Bawakan aku kisah tentang Batanghari.
He he. Istrinya membalas dengan sebaris canda. Tapi, Lindung sedang tak
tergiur bercanda, meski permintaan itu cukup menyita pikirannya. Lindung
memalingkan muka ke sekeliling. Di tepian Batanghari, bebangkai perahu
tergolek. Tak ubah, seberantak belulang. Para
penambang pasir bertubuh legam sibuk mengeruk jantung Batanghari. Mmh,
cuma mengenakan celana dalam para pekerja itu. Dari arah berlawanan, speed
boat melintas dengan suara mesin yang menyayat. Perahu ketek yang melaju
lamban, terayun-ayun oleh riak sungai. Suara klotak-klotak mesinnya
timbul-tenggelam.
Batanghari seketika berombak. Perahu ketek
berpapasan dengan sebuah kapal tongkang. Ia berpegangan lama. Entah- lah.
Selama perjalanan menuruti arus Batanghari, guraun Pak Saimin. Kini, perahu
ketek sudah berbalik arah, menentang arus. Lindung setengah menengadah. Cuaca
menggambar mendung di langit. Kepak angin mengirim gerimis.
Angin
menggoyang perahu ketek. Sekelebat ia raih riak-riak Batanghari, lantas ia
percikkan ke wajahnya. Hati-hati! Kalau kamu minum air Batanghari ini, bakal
lupa kamu jalan pulang. Menjadi betah kamu di sini. Ha, tapi, kalau kamu berniat
mencari istri simpanan di kota
ini, minumlah Batanghari barang seteguk. Berani? Ha ha. Baris gigi Pak
Sarimin yang tak lengkap pun terlihat jelas. Kali ini Lindung tertawa, tapi
cuma untuk menghargai lawan bicara.
Diam-diam,
ia bersyukur tak sempat meneguk Batanghari. Tapi, andai pun ia mereguk habis
Batanghari, ia yakin bakal tak buta jalan pulang. Jalan menuju kekasihnya,
istri tercinta!
Ø Waktu
.
Siang
hari : pertemuan berlanjut ke meja makan. Seterusnya, keluhan-keluhan tentang
kondisi rumah tangganya pun cucur begitu saja. Tak cukup sekali. Janji bersua
dirancang ulang, dan ditunaikan berkali-kali. Lindung makan bersama dengan
mantan pacar nya pada siang hari.
Nah,
kini saya bawa kamu naik kapal pesiar. He he. Saya sengaja sewa untuk kita
berdua, ajak Pak Sarimin setelah beberapa jam menyusuri
jalanan kota
Jambi. Lantas, mereka pun sudah berada di haribaan Batanghari, bersamaan dengan
dering panjang pesan di ponselnya. Aku teringat ketika kita menikah. Waktu
kau ucapkan janji ikatan, aku berdebar. Aku milikmu dan kau milikku. Sudah
makan siang?
Malam hari : Ayo, tampar aku! Kau sama
jalangnya dengan perempuan itu. Pandai kau membelanya, ya? Lalu, tangis pun
rubuh lebih deras dari guyur hujan yang menggedor malam.
Lindung
kembali bungkam. Menahan diri, tepatnya. Ayunan tangannya surut. Senyap. Hujan
mengendap. Angin padam. Lantas, mereka berdua pun tidur saling memunggungi.
Kamar mendadak pasi. Keesokan harinya, selain kebisuan, lelehan air mata Shinta
turut melepas keberangkatan Lindung.
Tadi
malam, istrinya berkabar lewat pesan singkat. Medan hujan. Ingin aku berselimut
di tubuhmu. Merebahkan diri di dadamu. Menghirup aroma napasmu. Ah! Jambi
pun sedang bergelimang hujan. Namun, ranjang dan selimut hotel bukanlah
Shinta...
Pulang ke hotel tengah malam, ia sudah lelah.
Paling, Lindung keluar untuk mencari makanan. Menu hotel acap tak berjodoh
dengan lidahnya.
Ø Suasana
.
Menyedihkan
: Keluarga besar Lindung, yang tak merestui pernikahan mereka turut meriakkan
alur persoalan. Cibiran menggelinding, Itulah kalau tak dengar nasihat
orangtua. Tengoklah, hingga kini kalian belum juga menghadiahkan cucu kepada
kami, meskipun itu hanya orok! Mmh, Lindung kehilangan tenaga untuk
membantah. Kita ini orang Batak, Lindung. Tak ada anak berarti aib. Masih
banyak perempuan yang subur...
Mengharukan
: Lindung cuma menyaksikan wajah istrinya di situ, kendati remote di
tangannya berkali-kali mengganti channel. Karena dimana pun lindung
berada ia tetap terbayang oleh wajah istri nya.
Romantis
: Ponsel Lindung mengerjap, menerima pesan dari Shinta. Adakah kekasihku
melihat bintang malam ini? Berhias cahaya bulan sabit. Mmh, istrinya tak
juga kehilangan selera romantisnya. Medan
hujan. Ingin aku berselimut di tubuhmu. Merebahkan diri di dadamu. Menghirup
aroma napasmu. Ah! Jambi pun sedang bergelimang hujan. Namun, ranjang dan
selimut hotel bukanlah Shinta... dering panjang pesan di ponselnya. Aku
teringat ketika kita menikah. Waktu kau ucapkan janji ikatan, aku berdebar. Aku
milikmu dan kau milikku. Sudah makan siang?
Sudah.
Aku kini di atas perahu ketek. Menjelajahi Batanghari. Oya, besok aku pulang.
Mau oleh-oleh apa? Bawakan aku kisah tentang Batanghari.
He he. Istrinya membalas dengan sebaris canda.
Lindung
tak juga bisa menanggalkan wajah istrinya dari angan. Sumpah, entah kenapa ia
ingin pulang. Tentu dengan hati yang damai. Pun begitu pula harapannya
terhadap Shinta. Seandainya saat ini ber- samamu, aku ingin jadi matahari
bagi Batanghari. Aku rindu! Shinta menyambung pesan. Begitu romantis nya
hubungan suami istri ini .
Pertengkaran
: Entah. Sesal baginya serupa penyiksaan dalam wujud lain. Jujur, ia masih
mencintai Shinta. Pun ia percaya, Shinta tak pernah surut merajut selimut
kasihsayang untuknya. Lantas, mengapa ia tak butuh pertimbangan untuk menerima
tugas dinas ke Jambi? Tiada lain, demi keinginan Lindung untuk rehat dari
percekcokan. Padahal, dengan jabatan yang lumayan berpengaruh, mudah baginya
menolak, atau melimpahkan pada yang lain. Tapi, hal itu tidak ia lakukan. Mana
tahu keadaan membaik dengan menghindar sejenak, pikirnya. Tapi sumpah, niat
kabur dari pertengkaran tak semulus perkiraan.
Ah,
langit-langit kamar mengelebatkan peristiwa-peristiwa pertengkarannya dengan
Shinta. Diam-diam, ia mengaku salah. Puncak kekacauan bermula dari
pertemuan-tak sengaja- Lindung dengan mantan pacarnya, Mutiara. Lantas,
pertemuan berlanjut ke meja makan. Seterusnya, keluhan-keluhan tentang kondisi
rumah tangganya pun cucur begitu saja. Tak cukup sekali. Janji bersua dirancang
ulang, dan ditunaikan berkali-kali. Sampai akhirnya terendus Shinta. Sungguh, menceraikan istrinya dengan alasan
tak mampu kasih keturunan, dan dalam umur pernikahan yang masih belia, bukan
pilihan yang bijak. Apalagi menurut dokter, mereka berdua sehat-sehat saja.
Tapi, kian hari Lindung kian terseret ke sudut yang pitam. Amarah pun mudah
pecah. Tak jarang, hanya gara-gara mendapati Shinta haid, cukuplah untuk
menyulut pertengkaran alot. Konyol? Tapi, ya, begitulah...
Itulah
salah satu sebab pertengkaran mereka, karena shinta belum di karunia anak.
Shinta
pun tak lebih baik kondisi batinnya ketimbang Lindung. Dalam keadaan tertekan,
segala tindak-ucap Lindung-juga keluarga suaminya- senantiasa menorehkan luka.
Apalagi, setelah pengakuan Lindung tentang pertemuan-pertemuan rahasianya
dengan Mutiara, Shinta kalap hati. Dalam hal ini, madu bagiku racun.
Ceraikan aku! Kata-kata yang menyengat itu melecut dada Lindung.
Aku
tak ingin cerai. Aku masih mencintaimu! Lindung membela diri.
Memang, tak ada secuil pun rencananya untuk memutus simpul pernikahan. Bahkan,
untuk selingkuh pun tak! Ia cuma butuh teman cerita. Tapi akhirnya ia paham,
seharusnya bukan Mutiara yang menampung perasaan keluhkesahnya.
Tapi
sikap dan kelakuanmu berkata seperti itu! Shinta berang.
Lindung bungkam. Membela diri sama saja memanjangkan percekcokan. Maka, ketika
perintah dinas lima
hari ke Jambi mengetuk meja kerjanya, ia langsung mengangguk. Tapi lagi,
pertengkaran sudah siap pula menyambut. Pergilah!
Kau sudah bikin janji yang rapi dengan perempuan jalang itu kan? Heh, jangan gampang menuduh! Jaga
mulutmu, Shinta! Amarah Lindung mendesakkan kalimat yang tak kalah pedas.
Kasar! Telapak tangannya mengokang ayunan, membidik wajah Shinta. Ayo,
tampar aku! Kau sama jalangnya dengan perempuan itu. Pandai kau membelanya, ya?
Lalu, tangis pun rubuh lebih deras dari guyur hujan yang menggedor malam. Lindung
kembali bungkam. Menahan diri, tepatnya. Ayunan tangannya surut. Senyap. Hujan
mengendap. Angin padam. Lantas, mereka berdua pun tidur saling memunggungi.
Kamar mendadak pasi. Keesokan harinya, selain kebisuan, lelehan air mata Shinta
turut melepas keberangkatan Lindung. Walaupun pertengkeran itu terjadi, namun
shinta masih menangisi kepergian lindung ke jambi .
Penokohan
:
1.
Lindung , merupakan tokoh utama dalam
cerita dan lindung berwatak protagonis .
Diam-diam,
ia bersyukur tak sempat meneguk Batanghari. Tapi, andai pun ia mereguk habis
Batanghari, ia yakin bakal tak buta jalan pulang. Jalan menuju kekasihnya,
istri tercinta! Shinta, semoga kau suka nanas goreng khas Jambi.. Lindung pernah berbuat salah pada shinta
karena telah bertemu sang mantan tanpa izin istri nya, namun lindung adalah
suami yang bijaksana dan pengertian pada istri, walaupn shinta belum member nya
buah hati. Dan kalimat terakhir dalam cerpen menunjukkan bukti betapa besar
cinta nya kepada shinta istri tercinta.
2.
Shinta
, merupakan tokoh utama dalam cerita dan berwatak protagonis.
Adakah
kekasihku melihat bintang malam ini? Berhias cahaya bulan sabit. Mmh, istrinya tak
juga kehilangan selera romantisnya. Ia merasa, pertengkaran mereka belakangan
ini tak lebih karena luapan perasaan yang keruh. Buktinya, sejak meninggalkan Medan, sudah beberapa
kali Shinta memberi pesan-pesan manis. Medan
hujan. Ingin aku berselimut di tubuhmu. Merebahkan diri di dadamu. Menghirup
aroma napasmu. Ah! Aku teringat ketika kita menikah. Waktu kau ucapkan
janji ikatan, aku berdebar. Aku milikmu dan kau milikku. Sudah makan siang?
Medan hujan lagi. Aku
gigil dalam kerinduan. Shinta kembali menyapa.
Shinta
seorang istri yang baik, pengertian dan sayang pada suami nya . dari kalimat di
atas cupilkan cerpen yang membuktikan watak shinta.
3.
Pak
Sarimin , merupakan tokoh figuran dalam cerpen ini. Walaupun pak sarimin
berperan penting dalam cerita . watak nya protagonis .
Maka,
dalam bimbang, ia memilih tawaran Pak Saimin, rekan kerja selama di Jambi untuk
berkeliling kota.
Nah, kini saya bawa kamu naik kapal pesiar. He he. Saya sengaja sewa untuk kita
berdua, ajak Pak Sarimin setelah beberapa jam menyusuri jalanan kota Jambi. Lantas,
mereka pun sudah berada di haribaan Batanghari. Pak sarimin mengajak Lindung
berkeliling kota
jambi dan mengajak nya ke Batanghari, ia juga menceritakan asal usul
Batanghari.
4.
Orangtua Lindung ( mertua shinta ),
merupakan tokoh figuran hanya tokoh tambahan dalam cerita. Watak nya antagonis,
karena mereka tega menyuruh Lindung menceraikan shinta yang belum member
seorang cucu kepada mereka, menyuruh Lindung untuk menikah lagi dengan wanita
lain yang lebih subur di banding shinta.
Keluarga
besar Lindung, yang tak merestui pernikahan mereka turut meriakkan alur
persoalan. Cibiran menggelinding, Itulah kalau tak dengar nasihat orangtua.
Tengoklah, hingga kini kalian belum juga menghadiahkan cucu kepada kami,
meskipun itu hanya orok! Mmh, Lindung kehilangan tenaga untuk membantah. Kita
ini orang Batak, Lindung. Tak ada anak berarti aib. Masih banyak perempuan yang
subur...
Alur
: Campuran ( alur maju dan alur mundur )
o
Maju.
Pengarang
menggunakan alur campuran . di dalam cerpen ini, terdapat alur maju dan alur
mundur. Yang menunjukkan alur maju adalah cerita nya berkembang dari hari ke
hari . bahkan sampai bertahun . seperti pada kalimat dalam cerita : perjalanan
darat Medan-Jambi benar-benar menyiksanya. Lindung pergi ke Jambi demi tugas
dan pekerjaan nya, Ponsel Lindung mengerjap, menerima pesan dari Shinta. Adakah
kekasihku melihat bintang malam ini? Berhias cahaya bulan sabit. Mmh,
istrinya tak juga kehilangan selera romantisnya. Hari pertama Lindung berada di
Jambi . Usia pernikahan Lindung-Shinta baru empat tahun. Masih penuh gula. Tapi,
itu tak menjamin bahtera rumah tangga jauh dari badai masalah. Kekuatan cinta
suami-istri rupanya begitu mudah porak oleh fakta: buah hati belum juga
meriuhkan rumah! Usia pernikahan telah berjalan empat tahun lama nya. istrinya
berkabar lewat pesan singkat. Medan
hujan. Ingin aku berselimut di tubuhmu. Merebahkan diri di dadamu. Menghirup
aroma napasmu. Ah! Dari kalimat tersebut jelas lah bahwa pengarang
menggunakan alur maju.
o
Mundur .
Perempuan
itu bernama Batanghari. Tubuhnya elok, semampai. Ia memiliki mata yang jernih.
Batanghari begitu mencintai seorang lelaki, sebuah perahu gagah yang ia tempa
dari selengkung rusuknya. Tapi, suatu hari, sang perahu mengutarakan hasratnya
untuk mengarungi samudra luas. Berhari-hari Batanghari menimbang-nimbang permintaan
kekasihnya itu. Alhasil, meski dengan berat hati, Batanghari pun luluh juga
melepas sang kekasih.
Baik.
Pergilah, tapi jangan tak kembali! Jangan biarkan sungai yang lebih elok
menawan hatimu!
Percayalah,
Batanghari gadisku. Aku akan kembali dengan cinta yang lebih gemilang. Sepulang
mengelana, aku pinang kau!
Tugu
janji pun dipahat. Batanghari tersenyum, terharu. Ia serahkan tubuhnya ke dada
perahu yang padat, sang kekasih bertubuh hangat. Maka, pada sebuah hari yang
ditumpahi hujan, Batanghari melepas kekasihnya ke samudera. Derai air mata, dan
debar dada bertakhta di dadanya.
Namun,
abad demi abad berlalu, kekasihnya tak kunjung menepati janji. Maka,
berabad-abad pula perempuan itu menangis. Tak terhitung jumlah perahu yang
tergolek, dan tak tertafsir perahu yang lahir, kekasihnya tak pernah berkabar.
Kini, tubuhnya menyusut, masam. Kedua matanya kian keruh, kian jauh…
Pak
Sarimin menceritakan kisah tentang Bahari, dan ini merupakan bukti ada alur
mundur yang di gunakan pengarang.
o
Alur
buka .
Udara
hotel membekukan napas Lindung. Ia sejatinya benci gigitan udara dingin. Tapi
paling tidak, ia kini leluasa menanggalkan kepenatan yang membungkus tubuhnya
selama puluhan jam. Ya, perjalanan darat Medan-Jambi benar-benar menyiksanya.
Di dalam bus yang sesak, umpatan Lindung meliatkan hatinya sendiri. Tak
pernah terbayangkan jika siput uzur yang mengantarkanku ke sini. Maka, ups,
mandi adalah hal ingin ia nikmati. Berendam di bath up! Ya, sebuah kamar
di lantai empat telah menunggu. Namun, air hangat tak sebenar mampu
menyembuhkan kelelahan.
o
Alur
tengah .
Entah.
Sesal baginya serupa penyiksaan dalam wujud lain. Jujur, ia masih mencintai
Shinta. Pun ia percaya, Shinta tak pernah surut merajut selimut kasihsayang
untuknya. Lantas, mengapa ia tak butuh pertimbangan untuk menerima tugas dinas
ke Jambi? Tiada lain, demi keinginan Lindung untuk rehat dari percekcokan.
Padahal, dengan jabatan yang lumayan berpengaruh, mudah baginya menolak, atau
melimpahkan pada yang lain. Tapi, hal itu tidak ia lakukan. Mana tahu
keadaan membaik dengan menghindar sejenak, pikirnya. Tapi sumpah, niat
kabur dari pertengkaran tak semulus perkiraan.
o
Alur
puncak .
Denting
bel telah mengirim hidangan. Tapi, ia malah merebahkan diri di springbed.
Ah, langit-langit kamar mengelebatkan peristiwa-peristiwa
pertengkarannya dengan Shinta. Diam-diam, ia mengaku salah. Puncak kekacauan
bermula dari pertemuan-tak sengaja- Lindung dengan mantan pacarnya, Mutiara.
Lantas, pertemuan berlanjut ke meja makan. Seterusnya, keluhan-keluhan tentang
kondisi rumah tangganya pun cucur begitu saja. Tak cukup sekali. Janji bersua
dirancang ulang, dan ditunaikan berkali-kali. Sampai akhirnya terendus Shinta.
Usia
pernikahan Lindung-Shinta baru empat tahun. Masih penuh gula. Tapi, itu tak
menjamin bahtera rumah tangga jauh dari badai masalah. Kekuatan cinta
suami-istri rupanya begitu mudah porak oleh fakta: buah hati belum juga
meriuhkan rumah! Keluarga besar Lindung, yang tak merestui pernikahan mereka
turut meriakkan alur persoalan. Cibiran menggelinding, Itulah kalau tak
dengar nasihat orangtua. Tengoklah, hingga kini kalian belum juga menghadiahkan
cucu kepada kami, meskipun itu hanya orok! Mmh, Lindung kehilangan tenaga
untuk membantah. Kita ini orang Batak, Lindung. Tak ada anak berarti aib.
Masih banyak perempuan yang subur...
Shinta
pun tak lebih baik kondisi batinnya ketimbang Lindung. Dalam keadaan tertekan,
segala tindak-ucap Lindung-juga keluarga suaminya- senantiasa menorehkan luka.
Apalagi, setelah pengakuan Lindung tentang pertemuan-pertemuan rahasianya
dengan Mutiara, Shinta kalap hati. Dalam hal ini, madu bagiku racun.
Ceraikan aku! Kata-kata yang menyengat itu melecut dada Lindung.
Aku
tak ingin cerai. Aku masih mencintaimu! Lindung membela diri. Memang, tak ada
secuil pun rencananya untuk memutus simpul pernikahan. Bahkan, untuk selingkuh
pun tak! Ia cuma butuh teman cerita. Tapi akhirnya ia paham, seharusnya bukan
Mutiara yang menampung perasaan keluhkesahnya.
Kalimat
di atas merupakan cuplikan dari cerpen yang menunjukkan adanya puncak konflik
dalam cerita .
o
Alur
penutup.
Tapi
sikap dan kelakuanmu berkata seperti itu! Shinta berang. Lindung bungkam.
Membela diri sama saja memanjangkan percekcokan. Maka, ketika perintah dinas lima hari ke Jambi
mengetuk meja kerjanya, ia langsung mengangguk. Tapi lagi, pertengkaran sudah
siap pula menyambut. tangis pun rubuh lebih deras dari guyur hujan yang
menggedor malam.
Lindung
kembali bungkam. Menahan diri, tepatnya. Ayunan tangannya surut. Senyap. Hujan
mengendap. Angin padam. Lantas, mereka berdua pun tidur saling memunggungi.
Kamar mendadak pasi. Keesokan harinya, selain kebisuan, lelehan air mata Shinta
turut melepas keberangkatan Lindung.
Penyelesaian
puncak konflik cerita ini adalah Lindung memutuskan untuk pergi ke Jambi demi
pekerjaan dan kebaikan hubungan rumah tangga nya. Karena ketika Lindung tak
berada di medan,
hubungan suami istri ini menjadi lebih romantis.
o
Sudut pandang ( point of view ).
Pengarang
menggunakan kata ganti nama tokoh itu sendiri, seperti Lindung, Shinta
pengarang berada di luar cerita.
o
Gaya bahasa .
Ia
sejatinya benci gigitan udara dingin , menggunakan kata yang bernuansa ,
dan menggunakan majas personifikasi yaitu majas yang mebandingkan antara benda
bernyawa seolah-olah memiliki sifat seperti manusia. Seperti kata gigitan udara
dingin.
Adakah
kekasihku melihat bintang malam ini? Berhias cahaya bulan sabit. Menggunakan majas hiperbola .
Pergilah!
Kau sudah bikin janji yang rapi dengan perempuan jalang itu kan? Kata umpama .
Medan hujan lagi. Aku
gigil dalam kerinduan.
Cuaca
menggambar mendung di langit. Kepak angin mengirim gerimis.
Hujan telah pergi. Langit cerah. Bias
matahari merangkai pelangi. Awan menyatu melukis wajah tampanmu. Pada
pelangi aku menuliskan harapan. Untuk cinta dan kebahagiaan. Menggunakan majas hiperbola .
Amanat
:
Hendak
nya jadilah seorang suami yang setia , jujur, pengertian , sayang , cinta
dengan tulus kepada istri .
jangan
menemui mantan pacar tanpa sepengatahuan istri , begitupun sebalik nya.
Selesaikan
masalah keluarga atau masalah rumah tangga dengan sebaik-baik nya.
Jangan menghindar dari masalah yang ada.
Hadapi
masalah dengan tenang dan secara bijaksana.
Menjadi
istri baik, mengikuti kata sang suami, setia, saling pengertian, jujur , sayang
dan cinta pada suami.
Unsur
Ekstrinsik.
Latar
belakang pengarang.
“…ruang
di dalam kampus menempa mahasiswa jadi ahli teori. Namun dalam hal menjelmakan
mahasiswa yang pandai praktik, bergabung dalam solusi paling arif…”
(
hasan al-banna, pandai fiksi ) . Berkarya jangan hanya di muncung. “ begitulah
tungkas seorang sastrawan Medan
yang merupakan Dosen Luar biasa Bahasa
dan sastra Indonesia Unimed, Hasan Al-banna.
Sosial
Budaya .
Ada perbedaan
antara budaya medan
dengan budaya jambi. Sebenarnya, pekerjaan Lindung sudah rampung sebelum
waktunya. Tapi ia tak hendak memajukan jadwal kepulangan. Kendati, demi Tuhan,
Lindung tak menampik jika kerinduan terhadap istri sering menyergap. Tadi
malam, istrinya berkabar lewat pesan singkat. Medan hujan. Ingin aku berselimut
di tubuhmu. Merebahkan diri di dadamu. Menghirup aroma napasmu. Ah! Jambi
pun sedang bergelimang hujan. Namun, ranjang dan selimut hotel bukanlah
Shinta...
Maka,
dalam bimbang, ia memilih tawaran Pak Saimin, rekan kerja selama di Jambi untuk
berkeliling kota.
Kebetulan, selama dinas, ia hampir tak ada waktu berjalan-jalan. Pulang ke
hotel tengah malam, ia sudah lelah. Paling, Lindung keluar untuk mencari
makanan. Menu hotel acap tak berjodoh dengan lidahnya. Bah, bangunan
mewah tak selalu memanjakan selera. Sebuah warung kusam di samping hotel lebih
paham kemauan perutnya. Pun, ia lebih sering menghabiskan secangkir kopi di
warung itu. Lagi pula, antrean panjang kendaraan pemburu BBM melumpuhkan
hasratnya untuk memutari kota
itu.
Pendidikan.
Tidak
ada unsur pendidikan dalam cerita ini.
Agama.
Bila
di lihat dari kata-kata yang di gunakan dalam cerita seperti nya menunjukkan
tokoh nya beragama islam, karena dominan pengarang nya islam. Namun tidak ada
pembahasan yang berkaitan dengan agama dalam cerita ini.
Moral
.
Banyak
pelajaran yang dapat di ambil dan di contoh dari cerita ini seperti isi amanat
pada unsur intrinsik sebelumnya. Ada
juga beberapa hal yang tidak pantas di tiru dalam kehidupan rumah tangga,
seperti bertemu dengan mantan pacar tanpa izin pasangan nya.
Ekonomi
.
Kehidupan
rumah tangga yang bersahaja perekonomian nya.
Lindung
keluar untuk mencari makanan. Menu hotel acap tak berjodoh dengan lidahnya. Bah,
bangunan mewah tak selalu memanjakan selera. Sebuah warung kusam di samping
hotel lebih paham kemauan perutnya. Pun, ia lebih sering menghabiskan secangkir
kopi di warung itu.
SKETSA
KONTAN November 2011
Penullis adalah
mahasiswa unimed jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dan sedang bergiat di
KONTAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar