Selasa, 13 Maret 2012

ANALISIS CERPEN


ANALISIS CERPEN                                                                                    oleh : azizah nur fitriana
Judul   :  Lindung yang Tak Sempat Meneguk Batanghari
Unsur Intrinsik
Tema   : Rumah Tangga Harmonis
Latar  :
Ø  Tempat .
Hotel : Udara hotel membekukan napas Lindung. Ia sejatinya benci gigitan udara dingin. Tapi paling tidak, ia kini leluasa menanggalkan kepenatan yang membungkus tubuhnya selama puluhan jam. Ya, perjalanan darat Medan-Jambi benar-benar menyiksanya. Di dalam bus yang sesak, umpatan Lindung meliatkan hatinya sendiri. Tak pernah terbayangkan jika siput uzur yang mengantarkanku ke sini. Maka, ups, mandi adalah hal ingin ia nikmati. Berendam di bath up! Ya, sebuah kamar di lantai empat telah menunggu. Namun, air hangat tak sebenar mampu menyembuhkan kelelahan.
Sebenarnya, pekerjaan Lindung sudah rampung sebelum waktunya. Tapi ia tak hendak memajukan jadwal kepulangan. Kendati, demi Tuhan, Lindung tak menampik jika kerinduan terhadap istri sering menyergap. Tadi malam, istrinya berkabar lewat pesan singkat. Medan hujan. Ingin aku berselimut di tubuhmu. Merebahkan diri di dadamu. Menghirup aroma napasmu. Ah! Jambi pun sedang bergelimang hujan. Namun, ranjang dan selimut hotel bukanlah Shinta...
Pulang ke hotel tengah malam, ia sudah lelah. Paling, Lindung keluar untuk mencari makanan. Menu hotel acap tak berjodoh dengan lidahnya. Bah, bangunan mewah tak selalu memanjakan selera. Sebuah warung kusam di samping hotel lebih paham kemauan perutnya. Pun, ia lebih sering menghabiskan secangkir kopi di warung itu.
Kota Medan : perjalanan darat Medan-Jambi benar-benar menyiksanya. Di dalam bus yang sesak, umpatan Lindung meliatkan hatinya sendiri.
Ponsel Lindung mengerjap, menerima pesan dari Shinta. Adakah kekasihku melihat bintang malam ini? Berhias cahaya bulan sabit.shinta berada di medan dan lintang suami nya berada di Jambi.
Pertemuan-tak sengaja- Lindung dengan mantan pacarnya, Mutiara. Lantas, pertemuan berlanjut ke meja makan. Seterusnya, keluhan-keluhan tentang kondisi rumah tangganya pun cucur begitu saja. Tak cukup sekali. Janji bersua dirancang ulang, dan ditunaikan berkali-kali. Sampai akhirnya terendus Shinta.Ketika itu, Lindung masih di medan.
Shinta pun tak lebih baik kondisi batinnya ketimbang Lindung. Dalam keadaan tertekan, segala tindak-ucap Lindung-juga keluarga suaminya- senantiasa menorehkan luka. Apalagi, setelah pengakuan Lindung tentang pertemuan-pertemuan rahasianya dengan Mutiara, Shinta kalap hati. Dalam hal ini, madu bagiku racun. Ceraikan aku! . kata istri nya lindung saat di kota medan.
Tapi sikap dan kelakuanmu berkata seperti itu! Shinta berang. Lindung bungkam. Membela diri sama saja memanjangkan percekcokan. Maka, ketika perintah dinas lima hari ke Jambi mengetuk meja kerjanya, ia langsung mengangguk. Tapi lagi, pertengkaran sudah siap pula menyambut.
Medan hujan lagi. Aku gigil dalam kerinduan. Shinta kembali menyapa.
 Rumah : Pergilah! Kau sudah bikin janji yang rapi dengan perempuan jalang itu kan?  Heh, jangan gampang menuduh! Jaga mulutmu, Shinta! Amarah Lindung mendesakkan kalimat yang tak kalah pedas. Kasar! Telapak tangannya mengokang ayunan, membidik wajah Shinta. Ayo, tampar aku! Kau sama jalangnya dengan perempuan itu. Pandai kau membelanya, ya? Lalu, tangis pun rubuh lebih deras dari guyur hujan yang menggedor malam. Lindung kembali bungkam. Menahan diri, tepatnya. Ayunan tangannya surut. Senyap. Hujan mengendap. Angin padam. Lantas, mereka berdua pun tidur saling memunggungi. Kamar mendadak pasi. Keesokan harinya, selain kebisuan, lelehan air mata Shinta turut melepas keberangkatan Lindung. Pertengkaran di rumah mereka.
Tadi malam, istrinya berkabar lewat pesan singkat. Medan hujan. Ingin aku berselimut di tubuhmu. Merebahkan diri di dadamu. Menghirup aroma napasmu. Ah!
haribaan Batanghari (jambi) : Nah, kini saya bawa kamu naik kapal pesiar. He he. Saya sengaja sewa untuk kita berdua, ajak Pak Sarimin setelah beberapa jam menyusuri jalanan kota Jambi. Lantas, mereka pun sudah berada di haribaan Batanghari,
Sudah. Aku kini di atas perahu ketek. Menjelajahi Batanghari. Oya, besok aku pulang. Mau oleh-oleh apa? Lindung mengirim sms kepada istri nya.
Bawakan aku kisah tentang Batanghari. He he. Istrinya membalas dengan sebaris canda. Tapi, Lindung sedang tak tergiur bercanda, meski permintaan itu cukup menyita pikirannya. Lindung memalingkan muka ke sekeliling. Di tepian Batanghari, bebangkai perahu tergolek. Tak ubah, seberantak belulang. Para penambang pasir bertubuh legam sibuk mengeruk jantung Batanghari. Mmh, cuma mengenakan celana dalam para pekerja itu. Dari arah berlawanan, speed boat melintas dengan suara mesin yang menyayat. Perahu ketek yang melaju lamban, terayun-ayun oleh riak sungai. Suara klotak-klotak mesinnya timbul-tenggelam.
Batanghari seketika berombak. Perahu ketek berpapasan dengan sebuah kapal tongkang. Ia berpegangan lama. Entah- lah. Selama perjalanan menuruti arus Batanghari, guraun Pak Saimin. Kini, perahu ketek sudah berbalik arah, menentang arus. Lindung setengah menengadah. Cuaca menggambar mendung di langit. Kepak angin mengirim gerimis.
Angin menggoyang perahu ketek. Sekelebat ia raih riak-riak Batanghari, lantas ia percikkan ke wajahnya. Hati-hati! Kalau kamu minum air Batanghari ini, bakal lupa kamu jalan pulang. Menjadi betah kamu di sini. Ha, tapi, kalau kamu berniat mencari istri simpanan di kota ini, minumlah Batanghari barang seteguk. Berani? Ha ha. Baris gigi Pak Sarimin yang tak lengkap pun terlihat jelas. Kali ini Lindung tertawa, tapi cuma untuk menghargai lawan bicara.
Diam-diam, ia bersyukur tak sempat meneguk Batanghari. Tapi, andai pun ia mereguk habis Batanghari, ia yakin bakal tak buta jalan pulang. Jalan menuju kekasihnya, istri tercinta!

Ø  Waktu .
Siang hari : pertemuan berlanjut ke meja makan. Seterusnya, keluhan-keluhan tentang kondisi rumah tangganya pun cucur begitu saja. Tak cukup sekali. Janji bersua dirancang ulang, dan ditunaikan berkali-kali. Lindung makan bersama dengan mantan pacar nya pada siang hari.
Nah, kini saya bawa kamu naik kapal pesiar. He he. Saya sengaja sewa untuk kita berdua, ajak Pak Sarimin setelah beberapa jam menyusuri jalanan kota Jambi. Lantas, mereka pun sudah berada di haribaan Batanghari, bersamaan dengan dering panjang pesan di ponselnya. Aku teringat ketika kita menikah. Waktu kau ucapkan janji ikatan, aku berdebar. Aku milikmu dan kau milikku. Sudah makan siang?
 Malam hari : Ayo, tampar aku! Kau sama jalangnya dengan perempuan itu. Pandai kau membelanya, ya? Lalu, tangis pun rubuh lebih deras dari guyur hujan yang menggedor malam.
Lindung kembali bungkam. Menahan diri, tepatnya. Ayunan tangannya surut. Senyap. Hujan mengendap. Angin padam. Lantas, mereka berdua pun tidur saling memunggungi. Kamar mendadak pasi. Keesokan harinya, selain kebisuan, lelehan air mata Shinta turut melepas keberangkatan Lindung.
Tadi malam, istrinya berkabar lewat pesan singkat. Medan hujan. Ingin aku berselimut di tubuhmu. Merebahkan diri di dadamu. Menghirup aroma napasmu. Ah! Jambi pun sedang bergelimang hujan. Namun, ranjang dan selimut hotel bukanlah Shinta...
Pulang ke hotel tengah malam, ia sudah lelah. Paling, Lindung keluar untuk mencari makanan. Menu hotel acap tak berjodoh dengan lidahnya.
Ø  Suasana .
Menyedihkan : Keluarga besar Lindung, yang tak merestui pernikahan mereka turut meriakkan alur persoalan. Cibiran menggelinding, Itulah kalau tak dengar nasihat orangtua. Tengoklah, hingga kini kalian belum juga menghadiahkan cucu kepada kami, meskipun itu hanya orok! Mmh, Lindung kehilangan tenaga untuk membantah. Kita ini orang Batak, Lindung. Tak ada anak berarti aib. Masih banyak perempuan yang subur...
Mengharukan : Lindung cuma menyaksikan wajah istrinya di situ, kendati remote di tangannya berkali-kali mengganti channel. Karena dimana pun lindung berada ia tetap terbayang oleh wajah istri nya.
Romantis : Ponsel Lindung mengerjap, menerima pesan dari Shinta. Adakah kekasihku melihat bintang malam ini? Berhias cahaya bulan sabit. Mmh, istrinya tak juga kehilangan selera romantisnya. Medan hujan. Ingin aku berselimut di tubuhmu. Merebahkan diri di dadamu. Menghirup aroma napasmu. Ah! Jambi pun sedang bergelimang hujan. Namun, ranjang dan selimut hotel bukanlah Shinta... dering panjang pesan di ponselnya. Aku teringat ketika kita menikah. Waktu kau ucapkan janji ikatan, aku berdebar. Aku milikmu dan kau milikku. Sudah makan siang?
Sudah. Aku kini di atas perahu ketek. Menjelajahi Batanghari. Oya, besok aku pulang. Mau oleh-oleh apa? Bawakan aku kisah tentang Batanghari. He he. Istrinya membalas dengan sebaris canda.
Lindung tak juga bisa menanggalkan wajah istrinya dari angan. Sumpah, entah kenapa ia ingin pulang. Tentu dengan hati yang damai. Pun begitu pula harapannya terhadap Shinta. Seandainya saat ini ber- samamu, aku ingin jadi matahari bagi Batanghari. Aku rindu! Shinta menyambung pesan. Begitu romantis nya hubungan suami istri ini .
Pertengkaran : Entah. Sesal baginya serupa penyiksaan dalam wujud lain. Jujur, ia masih mencintai Shinta. Pun ia percaya, Shinta tak pernah surut merajut selimut kasihsayang untuknya. Lantas, mengapa ia tak butuh pertimbangan untuk menerima tugas dinas ke Jambi? Tiada lain, demi keinginan Lindung untuk rehat dari percekcokan. Padahal, dengan jabatan yang lumayan berpengaruh, mudah baginya menolak, atau melimpahkan pada yang lain. Tapi, hal itu tidak ia lakukan. Mana tahu keadaan membaik dengan menghindar sejenak, pikirnya. Tapi sumpah, niat kabur dari pertengkaran tak semulus perkiraan.
Ah, langit-langit kamar mengelebatkan peristiwa-peristiwa pertengkarannya dengan Shinta. Diam-diam, ia mengaku salah. Puncak kekacauan bermula dari pertemuan-tak sengaja- Lindung dengan mantan pacarnya, Mutiara. Lantas, pertemuan berlanjut ke meja makan. Seterusnya, keluhan-keluhan tentang kondisi rumah tangganya pun cucur begitu saja. Tak cukup sekali. Janji bersua dirancang ulang, dan ditunaikan berkali-kali. Sampai akhirnya terendus Shinta.  Sungguh, menceraikan istrinya dengan alasan tak mampu kasih keturunan, dan dalam umur pernikahan yang masih belia, bukan pilihan yang bijak. Apalagi menurut dokter, mereka berdua sehat-sehat saja. Tapi, kian hari Lindung kian terseret ke sudut yang pitam. Amarah pun mudah pecah. Tak jarang, hanya gara-gara mendapati Shinta haid, cukuplah untuk menyulut pertengkaran alot. Konyol? Tapi, ya, begitulah...
Itulah salah satu sebab pertengkaran mereka, karena shinta belum di karunia anak.
Shinta pun tak lebih baik kondisi batinnya ketimbang Lindung. Dalam keadaan tertekan, segala tindak-ucap Lindung-juga keluarga suaminya- senantiasa menorehkan luka. Apalagi, setelah pengakuan Lindung tentang pertemuan-pertemuan rahasianya dengan Mutiara, Shinta kalap hati. Dalam hal ini, madu bagiku racun. Ceraikan aku! Kata-kata yang menyengat itu melecut dada Lindung.
Aku tak ingin cerai. Aku masih mencintaimu! Lindung membela diri. Memang, tak ada secuil pun rencananya untuk memutus simpul pernikahan. Bahkan, untuk selingkuh pun tak! Ia cuma butuh teman cerita. Tapi akhirnya ia paham, seharusnya bukan Mutiara yang menampung perasaan keluhkesahnya.
Tapi sikap dan kelakuanmu berkata seperti itu! Shinta berang. Lindung bungkam. Membela diri sama saja memanjangkan percekcokan. Maka, ketika perintah dinas lima hari ke Jambi mengetuk meja kerjanya, ia langsung mengangguk. Tapi lagi, pertengkaran sudah siap pula menyambut.  Pergilah! Kau sudah bikin janji yang rapi dengan perempuan jalang itu kan? Heh, jangan gampang menuduh! Jaga mulutmu, Shinta! Amarah Lindung mendesakkan kalimat yang tak kalah pedas. Kasar! Telapak tangannya mengokang ayunan, membidik wajah Shinta. Ayo, tampar aku! Kau sama jalangnya dengan perempuan itu. Pandai kau membelanya, ya? Lalu, tangis pun rubuh lebih deras dari guyur hujan yang menggedor malam. Lindung kembali bungkam. Menahan diri, tepatnya. Ayunan tangannya surut. Senyap. Hujan mengendap. Angin padam. Lantas, mereka berdua pun tidur saling memunggungi. Kamar mendadak pasi. Keesokan harinya, selain kebisuan, lelehan air mata Shinta turut melepas keberangkatan Lindung. Walaupun pertengkeran itu terjadi, namun shinta masih menangisi kepergian lindung ke jambi .
Penokohan :
1.      Lindung , merupakan tokoh utama dalam cerita dan lindung berwatak protagonis .
Diam-diam, ia bersyukur tak sempat meneguk Batanghari. Tapi, andai pun ia mereguk habis Batanghari, ia yakin bakal tak buta jalan pulang. Jalan menuju kekasihnya, istri tercinta! Shinta, semoga kau suka nanas goreng khas Jambi.. Lindung pernah berbuat salah pada shinta karena telah bertemu sang mantan tanpa izin istri nya, namun lindung adalah suami yang bijaksana dan pengertian pada istri, walaupn shinta belum member nya buah hati. Dan kalimat terakhir dalam cerpen menunjukkan bukti betapa besar cinta nya kepada shinta istri tercinta.
2.      Shinta , merupakan tokoh utama dalam cerita dan berwatak protagonis.
Adakah kekasihku melihat bintang malam ini? Berhias cahaya bulan sabit. Mmh, istrinya tak juga kehilangan selera romantisnya. Ia merasa, pertengkaran mereka belakangan ini tak lebih karena luapan perasaan yang keruh. Buktinya, sejak meninggalkan Medan, sudah beberapa kali Shinta memberi pesan-pesan manis. Medan hujan. Ingin aku berselimut di tubuhmu. Merebahkan diri di dadamu. Menghirup aroma napasmu. Ah! Aku teringat ketika kita menikah. Waktu kau ucapkan janji ikatan, aku berdebar. Aku milikmu dan kau milikku. Sudah makan siang?
Medan hujan lagi. Aku gigil dalam kerinduan. Shinta kembali menyapa.
Shinta seorang istri yang baik, pengertian dan sayang pada suami nya . dari kalimat di atas cupilkan cerpen yang membuktikan watak shinta.
3.      Pak Sarimin , merupakan tokoh figuran dalam cerpen ini. Walaupun pak sarimin berperan penting dalam cerita . watak nya protagonis .
Maka, dalam bimbang, ia memilih tawaran Pak Saimin, rekan kerja selama di Jambi untuk berkeliling kota. Nah, kini saya bawa kamu naik kapal pesiar. He he. Saya sengaja sewa untuk kita berdua, ajak Pak Sarimin setelah beberapa jam menyusuri jalanan kota Jambi. Lantas, mereka pun sudah berada di haribaan Batanghari. Pak sarimin mengajak Lindung berkeliling kota jambi dan mengajak nya ke Batanghari, ia juga menceritakan asal usul Batanghari.
4.      Orangtua Lindung ( mertua shinta ), merupakan tokoh figuran hanya tokoh tambahan dalam cerita. Watak nya antagonis, karena mereka tega menyuruh Lindung menceraikan shinta yang belum member seorang cucu kepada mereka, menyuruh Lindung untuk menikah lagi dengan wanita lain yang lebih subur di banding shinta.
Keluarga besar Lindung, yang tak merestui pernikahan mereka turut meriakkan alur persoalan. Cibiran menggelinding, Itulah kalau tak dengar nasihat orangtua. Tengoklah, hingga kini kalian belum juga menghadiahkan cucu kepada kami, meskipun itu hanya orok! Mmh, Lindung kehilangan tenaga untuk membantah. Kita ini orang Batak, Lindung. Tak ada anak berarti aib. Masih banyak perempuan yang subur...
Alur : Campuran ( alur maju dan alur mundur )
o   Maju.
Pengarang menggunakan alur campuran . di dalam cerpen ini, terdapat alur maju dan alur mundur. Yang menunjukkan alur maju adalah cerita nya berkembang dari hari ke hari . bahkan sampai bertahun . seperti pada kalimat dalam cerita : perjalanan darat Medan-Jambi benar-benar menyiksanya. Lindung pergi ke Jambi demi tugas dan pekerjaan nya, Ponsel Lindung mengerjap, menerima pesan dari Shinta. Adakah kekasihku melihat bintang malam ini? Berhias cahaya bulan sabit. Mmh, istrinya tak juga kehilangan selera romantisnya. Hari pertama Lindung berada di Jambi . Usia pernikahan Lindung-Shinta baru empat tahun. Masih penuh gula. Tapi, itu tak menjamin bahtera rumah tangga jauh dari badai masalah. Kekuatan cinta suami-istri rupanya begitu mudah porak oleh fakta: buah hati belum juga meriuhkan rumah! Usia pernikahan telah berjalan empat tahun lama nya. istrinya berkabar lewat pesan singkat. Medan hujan. Ingin aku berselimut di tubuhmu. Merebahkan diri di dadamu. Menghirup aroma napasmu. Ah! Dari kalimat tersebut jelas lah bahwa pengarang menggunakan alur maju.
o   Mundur .
Perempuan itu bernama Batanghari. Tubuhnya elok, semampai. Ia memiliki mata yang jernih. Batanghari begitu mencintai seorang lelaki, sebuah perahu gagah yang ia tempa dari selengkung rusuknya. Tapi, suatu hari, sang perahu mengutarakan hasratnya untuk mengarungi samudra luas. Berhari-hari Batanghari menimbang-nimbang permintaan kekasihnya itu. Alhasil, meski dengan berat hati, Batanghari pun luluh juga melepas sang kekasih.
Baik. Pergilah, tapi jangan tak kembali! Jangan biarkan sungai yang lebih elok menawan hatimu!
Percayalah, Batanghari gadisku. Aku akan kembali dengan cinta yang lebih gemilang. Sepulang mengelana, aku pinang kau!
Tugu janji pun dipahat. Batanghari tersenyum, terharu. Ia serahkan tubuhnya ke dada perahu yang padat, sang kekasih bertubuh hangat. Maka, pada sebuah hari yang ditumpahi hujan, Batanghari melepas kekasihnya ke samudera. Derai air mata, dan debar dada bertakhta di dadanya.
Namun, abad demi abad berlalu, kekasihnya tak kunjung menepati janji. Maka, berabad-abad pula perempuan itu menangis. Tak terhitung jumlah perahu yang tergolek, dan tak tertafsir perahu yang lahir, kekasihnya tak pernah berkabar. Kini, tubuhnya menyusut, masam. Kedua matanya kian keruh, kian jauh…
Pak Sarimin menceritakan kisah tentang Bahari, dan ini merupakan bukti ada alur mundur yang di gunakan pengarang.
o   Alur buka .
Udara hotel membekukan napas Lindung. Ia sejatinya benci gigitan udara dingin. Tapi paling tidak, ia kini leluasa menanggalkan kepenatan yang membungkus tubuhnya selama puluhan jam. Ya, perjalanan darat Medan-Jambi benar-benar menyiksanya. Di dalam bus yang sesak, umpatan Lindung meliatkan hatinya sendiri. Tak pernah terbayangkan jika siput uzur yang mengantarkanku ke sini. Maka, ups, mandi adalah hal ingin ia nikmati. Berendam di bath up! Ya, sebuah kamar di lantai empat telah menunggu. Namun, air hangat tak sebenar mampu menyembuhkan kelelahan.

o   Alur tengah .
Entah. Sesal baginya serupa penyiksaan dalam wujud lain. Jujur, ia masih mencintai Shinta. Pun ia percaya, Shinta tak pernah surut merajut selimut kasihsayang untuknya. Lantas, mengapa ia tak butuh pertimbangan untuk menerima tugas dinas ke Jambi? Tiada lain, demi keinginan Lindung untuk rehat dari percekcokan. Padahal, dengan jabatan yang lumayan berpengaruh, mudah baginya menolak, atau melimpahkan pada yang lain. Tapi, hal itu tidak ia lakukan. Mana tahu keadaan membaik dengan menghindar sejenak, pikirnya. Tapi sumpah, niat kabur dari pertengkaran tak semulus perkiraan.
o   Alur puncak .
Denting bel telah mengirim hidangan. Tapi, ia malah merebahkan diri di springbed. Ah, langit-langit kamar mengelebatkan peristiwa-peristiwa pertengkarannya dengan Shinta. Diam-diam, ia mengaku salah. Puncak kekacauan bermula dari pertemuan-tak sengaja- Lindung dengan mantan pacarnya, Mutiara. Lantas, pertemuan berlanjut ke meja makan. Seterusnya, keluhan-keluhan tentang kondisi rumah tangganya pun cucur begitu saja. Tak cukup sekali. Janji bersua dirancang ulang, dan ditunaikan berkali-kali. Sampai akhirnya terendus Shinta.
Usia pernikahan Lindung-Shinta baru empat tahun. Masih penuh gula. Tapi, itu tak menjamin bahtera rumah tangga jauh dari badai masalah. Kekuatan cinta suami-istri rupanya begitu mudah porak oleh fakta: buah hati belum juga meriuhkan rumah! Keluarga besar Lindung, yang tak merestui pernikahan mereka turut meriakkan alur persoalan. Cibiran menggelinding, Itulah kalau tak dengar nasihat orangtua. Tengoklah, hingga kini kalian belum juga menghadiahkan cucu kepada kami, meskipun itu hanya orok! Mmh, Lindung kehilangan tenaga untuk membantah. Kita ini orang Batak, Lindung. Tak ada anak berarti aib. Masih banyak perempuan yang subur...
Shinta pun tak lebih baik kondisi batinnya ketimbang Lindung. Dalam keadaan tertekan, segala tindak-ucap Lindung-juga keluarga suaminya- senantiasa menorehkan luka. Apalagi, setelah pengakuan Lindung tentang pertemuan-pertemuan rahasianya dengan Mutiara, Shinta kalap hati. Dalam hal ini, madu bagiku racun. Ceraikan aku! Kata-kata yang menyengat itu melecut dada Lindung.
Aku tak ingin cerai. Aku masih mencintaimu! Lindung membela diri. Memang, tak ada secuil pun rencananya untuk memutus simpul pernikahan. Bahkan, untuk selingkuh pun tak! Ia cuma butuh teman cerita. Tapi akhirnya ia paham, seharusnya bukan Mutiara yang menampung perasaan keluhkesahnya.
Kalimat di atas merupakan cuplikan dari cerpen yang menunjukkan adanya puncak konflik dalam cerita .
o   Alur penutup.
Tapi sikap dan kelakuanmu berkata seperti itu! Shinta berang. Lindung bungkam. Membela diri sama saja memanjangkan percekcokan. Maka, ketika perintah dinas lima hari ke Jambi mengetuk meja kerjanya, ia langsung mengangguk. Tapi lagi, pertengkaran sudah siap pula menyambut. tangis pun rubuh lebih deras dari guyur hujan yang menggedor malam.
Lindung kembali bungkam. Menahan diri, tepatnya. Ayunan tangannya surut. Senyap. Hujan mengendap. Angin padam. Lantas, mereka berdua pun tidur saling memunggungi. Kamar mendadak pasi. Keesokan harinya, selain kebisuan, lelehan air mata Shinta turut melepas keberangkatan Lindung.
Penyelesaian puncak konflik cerita ini adalah Lindung memutuskan untuk pergi ke Jambi demi pekerjaan dan kebaikan hubungan rumah tangga nya. Karena ketika Lindung tak berada di medan, hubungan suami istri ini menjadi lebih romantis.


o   Sudut pandang ( point of view ).
Pengarang menggunakan kata ganti nama tokoh itu sendiri, seperti Lindung, Shinta pengarang berada di luar cerita.
o   Gaya bahasa .
Ia sejatinya benci gigitan udara dingin , menggunakan kata yang bernuansa , dan menggunakan majas personifikasi yaitu majas yang mebandingkan antara benda bernyawa seolah-olah memiliki sifat seperti manusia. Seperti kata gigitan udara dingin. 
Adakah kekasihku melihat bintang malam ini? Berhias cahaya bulan sabit. Menggunakan majas hiperbola .
Pergilah! Kau sudah bikin janji yang rapi dengan perempuan jalang itu kan? Kata umpama .
Medan hujan lagi. Aku gigil dalam kerinduan.
Cuaca menggambar mendung di langit. Kepak angin mengirim gerimis.
 Hujan telah pergi. Langit cerah. Bias matahari merangkai pelangi. Awan menyatu melukis wajah tampanmu. Pada pelangi aku menuliskan harapan. Untuk cinta dan kebahagiaan. Menggunakan majas hiperbola .
Amanat :
Hendak nya jadilah seorang suami yang setia , jujur, pengertian , sayang , cinta dengan tulus kepada istri .
jangan menemui mantan pacar tanpa sepengatahuan istri , begitupun sebalik nya.
Selesaikan masalah keluarga atau masalah rumah tangga dengan sebaik-baik nya.
Jangan menghindar dari masalah yang ada.
Hadapi masalah dengan tenang dan secara bijaksana.
Menjadi istri baik, mengikuti kata sang suami, setia, saling pengertian, jujur , sayang dan cinta pada suami.


Unsur Ekstrinsik.
Latar belakang pengarang.
“…ruang di dalam kampus menempa mahasiswa jadi ahli teori. Namun dalam hal menjelmakan mahasiswa yang pandai praktik, bergabung dalam solusi paling arif…”
( hasan al-banna, pandai fiksi ) . Berkarya jangan hanya di muncung. “ begitulah tungkas seorang sastrawan Medan yang merupakan Dosen  Luar biasa Bahasa dan sastra Indonesia Unimed, Hasan Al-banna.
Sosial Budaya .
Ada perbedaan antara budaya medan dengan budaya jambi. Sebenarnya, pekerjaan Lindung sudah rampung sebelum waktunya. Tapi ia tak hendak memajukan jadwal kepulangan. Kendati, demi Tuhan, Lindung tak menampik jika kerinduan terhadap istri sering menyergap. Tadi malam, istrinya berkabar lewat pesan singkat. Medan hujan. Ingin aku berselimut di tubuhmu. Merebahkan diri di dadamu. Menghirup aroma napasmu. Ah! Jambi pun sedang bergelimang hujan. Namun, ranjang dan selimut hotel bukanlah Shinta...
Maka, dalam bimbang, ia memilih tawaran Pak Saimin, rekan kerja selama di Jambi untuk berkeliling kota. Kebetulan, selama dinas, ia hampir tak ada waktu berjalan-jalan. Pulang ke hotel tengah malam, ia sudah lelah. Paling, Lindung keluar untuk mencari makanan. Menu hotel acap tak berjodoh dengan lidahnya. Bah, bangunan mewah tak selalu memanjakan selera. Sebuah warung kusam di samping hotel lebih paham kemauan perutnya. Pun, ia lebih sering menghabiskan secangkir kopi di warung itu. Lagi pula, antrean panjang kendaraan pemburu BBM melumpuhkan hasratnya untuk memutari kota itu.
Pendidikan.
Tidak ada unsur pendidikan dalam cerita ini.
Agama.
Bila di lihat dari kata-kata yang di gunakan dalam cerita seperti nya menunjukkan tokoh nya beragama islam, karena dominan pengarang nya islam. Namun tidak ada pembahasan yang berkaitan dengan agama dalam cerita ini.
Moral .
Banyak pelajaran yang dapat di ambil dan di contoh dari cerita ini seperti isi amanat pada unsur intrinsik sebelumnya. Ada juga beberapa hal yang tidak pantas di tiru dalam kehidupan rumah tangga, seperti bertemu dengan mantan pacar tanpa izin pasangan nya.
Ekonomi .
Kehidupan rumah tangga yang bersahaja perekonomian nya.
Lindung keluar untuk mencari makanan. Menu hotel acap tak berjodoh dengan lidahnya. Bah, bangunan mewah tak selalu memanjakan selera. Sebuah warung kusam di samping hotel lebih paham kemauan perutnya. Pun, ia lebih sering menghabiskan secangkir kopi di warung itu.
SKETSA KONTAN November 2011
Penullis adalah mahasiswa unimed jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dan sedang bergiat di KONTAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar