Minggu, 11 Maret 2012

cerpen azizah


Sungai itu yang merenggutnya
Oleh : azizah NFA

Semerbak wangi mawar, masih segar tercium di seluruh ruangan kami, juga beranda masih berserakan harum bunga itu . Kemudian hanyut bersama kumpulan air gerimis akhir tahun ini.
Di luar sana, angin berkeliaran menghembus warna pupus harum bunga, bercampur tetesan airmata. Di antara pupus nya bunga dan tetesan airmata itu, mengalirlah sebendung kabut gelap yang menandakan rintik kerinduan rumput-rumput di halaman tempat biasa kami bermain.
“sebentar lagi hujan kan turun,” ucapku dalam hati.
Tersadar aku menyimak sesuatu pendengaranku, suara rebut anak-anak.
“Bona, hujan sudah turun, ayo kita mandi hujan” ajak Tiar salahseorang di antara gerombolan temanku, yang baru dapat mengeja alphabet. A,b,c,d,e …
“Ayo Bona. Lekas ganti baju,” lanjut yang lain.
Mandi hujan kala hujan deras adalah kebiasaanku, Septi, adik sulungku serta kawan-kawan sebayaku di desa cinta ini. Kami sangat bahagia, bukan sekedar mandi hujan saja, tapi kami juga bermain lempar-lemparan tanah yang mengencer di sela-sela lorong.
            Bersama derap langkah anak-anak, yang saling melukis pelangi dalam sederet tawa riang itu, aku tetap larut berkabung dalam pupus harum sepucuk mawar, yang terus berdorong-dorongan di setiap derau angina,yang mengalir bersama ehmbusan nafasku di antara hujan yang juga berserakan harum mawar.
            Di sebuah hujan lebat, ketika itu kami seperti biasa, bermain hujan juga bermain t lempar-lemparan tanah yang mengencer di sela-sela lorong. Sebuah peristiwa , telah berhasil menajadikanku diam bagai pohon, tetapi tak setetespun air membasahiku. Hujan itu, air bertaburan, mengombak di sungai kecil belakang rumah kami.
            “agh…mas…, tolong…to…long” suara Tiar, adik sulungku berteriak kencang.
“Tiar…,” ucapku berteriak. Terasa sebongkah pasir menghimpit tenggorakanku. Namun, tidak banyak yang bisa ku lakukan. Kedua kakiku tegang, tampak telapak kaki lemah untuk berpijak menopang tubuh ku yang kecil ini. Aku terkejut, nafasku terasa sasak melihat Tiar, adik sulungku terseret gulungan air keruh terpleset ke bawah kaki sungai sepanjang tiga meter, tepat di belakang rumah kami.
            “Tiar …,” lirih ucapku, sembari butiran air suci mengalir sederas arus sungai itu di pinggiran pipiku.
            “Ada apa Bona, kamu kenapa menangis?” Tanya seorang dari belakangku dan aku terus menunduk tak menoleh dan tak ingin tahu siapa yang datang di tengah mendungnya hatiku saat itu.
            “Tiar,Tiar….tolong Tiar”, ucapku terbat-bata , nafasku terengah-engah.
“kenapa, Bon? Apa yang terjadi pada Tiar , kemana dia sekarang?” terasa semakin sesak hatiku mendengar pertanyaan yang tak sanggup ku menjawabnya.
            “Bona, ini ibu. Mana Tiar,” sebuah tanya kembali menyesakkan hatiku dari seorang yang mengaku ibuku. Aku semakin lemah, tak berdaya, seluruh tubuhku bergetar hebat.
            “Ibu… Tiar…” kataku di sela getaran tubuhku yang begitu hebat. Terasa tak sebilah tulangku pergi meninggalkan tubuhku. Airmata jatuh, mengalir bersama keringat yang mengucur dari pori-pori kulitku, sebagiannya mengombak seperti air yang mengalit menyeret adik sulungku , Tiar di kaki sungai nakal itu.
            “Tiar dimakan air sungai itu bu,” suara ku bergetar.
“apa…, terseret air, di mana nak”, ucap ibu, sembari tetesan air suci di matanya tertumpah kembali, setelah bertahun-tahun lalu mengering di antara desah nafas kehidupan tampak gagap suara ibu.
            “Di mana adikmu, nak. Di mana…” Tanya ibu mendesak kaget. Kali ini ibu benar-benar telah dipenuhi segenggam kecemasan serta rasa takut.
            Masih dalam jembatan sungai itu, bu, “ sambil aku menunjukkan jari ku kearah jembatan sungai itu. Ibu meminta bantuan para tetangga,dan nyawa Tiar tak dapat terselamatkan.
            “Tiar…, ini ibu nak. Ini ibu,” histeris ibuku. Tapi Tiar tak kuasa berbuat apa-apa. Kuperhatikan wajahnya yang semakin pucat, walau mengalir darah segar dari hidungnya. Tangan,serta seluruh tubuhnya yang telah tak bernyawa.
            “Nak…, innalillahi…wa inna ilaihi rojiun…,” parau suara ibu menambah tubuhku lemah tak berdaya. Namun, Tiar hanya mengisyaratkan ketenangan di wajahnya yang telah begitu pucat. Sedang aku tersentak, sempurnalah kini penderitaanku. Telah terjadi pernikahan yang kekal, pernikahan pada sebuah kematian.
            “Tidak hanya itu, sayu mataku. Hanya ada ruang lengang yang tak satupun angina menggoyangkan ranting pohon. Tiar, adik sulungku yang menjadi kawan setiaku dalam setiap nafas yang kami lalui. Kami selalu berjalan menelusuri kehidupan. Hujan kembali berbisik lebat seperti dulu. Namun, secercah cahaya guntur, serta suara dentum petirlah yang agak nya berbeda.
            Hari ini , hari ke seratus setelah peristiwa itu terjadi. Ya, hari keseratus di hari hujan berbisik nakal. Namun, pupus harum mawar tetap bertabur di setiap ruangan kami. Dan angina berlomba-lomba membawa pergi harum mawar itu.
            “Satu di antara dua saudara kandung itu, pasti meninggal jua!” berulang kali aku melafalkan kalimat yang kudengar dari tetangga kami. Tapi benarkah? Mengapa harus Tiar, bukan aku saja? Tiar terlalu baik dan terlalu dini untuk menikah dengan kematian, Tuhan.
            “Kalau ada Tiar…,” ucapku berandai.
“Nak, Ipan menunggu kamu di depan. Main hujan katanya,” kata ibu dari balik bilik kamarku. Tetapi aku tetap terlena dalam lamunanku.
            “Aku tak suka main hujan , bu,” jawabku singkat.
Kulihat ke arah luar jendelaku, hujan semakin lebat,  pupus harum mawar tetap saja menggodaku di antara gemuruh ingatan ku tentang itu. Aku pun mencoba menarik bibirku ke kanan dan ke kiri menciptakan senyum terindah di antara tetesan hujan akhir tahun ini.
            “Tiar…….. Adikku!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar