Cinta Sejati
Oleh : Azizah Nur Fitriana*
Suatu senja di Berastagi,
langit warna jingga diiringi angin yang bertiup kencang. Musim hujan tiba di
Berastagi, orang-orang berlalu lalang dengan sweter rajutan dan syal yang
menutupi leher.
Aku berjalan di
Pinggiran sungai tanah karo memandangi air begitu tenang yang telah menikahi
ketenangan sejak ia di ciptakan. Aku merasakan angin begitu hebat mencumbu tubuhku.
Aku kedinginan.
Seandainya di
sini ada dia sang pujaan hati selama ini hadir dalam mimpiku pasti aku tak
merasa dingin seperti ini. Sengaja aku berada di sini berharap akan kutemukan
dia pangeran yang menjemputku ke istana
nya.
Sudah lama aku
merasakan sepi bak hidup sebatangkara, aku telah melakukan semua keinginan
orangtuaku ; menjadi seorang guru hingga S2, orangtuaku selalu meminta ku
menuruti semua ingin nya.
Pernah sewaktu
dulu secara diam-diam mereka meng ia kan
lamaran seorang lelaki yang tak pernah ku ketahui sebelumnya, lelaki itu dua
kali lebih dari usia ku yang masih duduk di bangku Smp.
Aku yang belum
mengerti apa-apa tentang lamaran dan semacam nya, terkejut sekali ketika tanpa
sengaja ku dengar samar-samar percakapan mereka di balik tirai dapur yang
berdekatan dengan ruang tamu.
Sedari tadi aku
berniat membuatkan teh dan semangkuk kolak untuk tamu yang ku kira rekan kerja
Bapak di kantor camat ternyata dia lelaki jahat tak ku sangka.
Dengan
pelan-pelan aku beranjak dari dapur menuju kamar ku yang tepat di balik tirai
itu. Aku hempaskan tubuh ini pada kasur empukku tanpa tersadar bantal pun sudah
basah oleh air yang keluar dari mataku. Tangiskku makin menjadi.
Ibu mendengar
suara tangisku dari ruang tamu dengan segera melihatku, dan bertanya heran pada
ku.
“Kamu kenapa Ning?”
ucap Ibu dengan jemari membelai rambutku.
“Ibu bertanya ke..na..pa?”
jawab ku terbata-bata.
“Apa yang
menyebabkan Ning menangis?” Ibu semakin penasaran.
“Siapa lelaki
tua itu Bu ?” Mengapa Ibu melakukan ini ?” Tanya ku parau.
Belum sempat Ibu
menjawab, Bapak dari ruang tamu
memanggil-manggil Ibu.
“Bu… Hadi mau
pamitan Bu” kata bapak setengah berteriak.
“iya Pak,
sebentar …” jawab Ibu sembari meninggalkan ku di kamar.
“saya pamit
pulang dulu ya Bu” ucap Hadi sambil mencium punggung tangan Ibu.
Di dalam kamar,
Aku menuliskan sesuatu pada buku harian pemberian Anisa teman sebangku ku.
Siapa yang mampu menerjemahkan luka?
Terkadang , mimpi yang sebagai bunga tidur
itu tak bisa aku terka apa maksudnya. Sebab segalanya terlihat samar.dan ………
Pintu kamar ku
terbuka, jemariku terhenti seketika . Ibu menghilangkan sajak yang ada dalam
pikiranku. Dengan segera ku tutup buku itu, tak ingin ibu mengetahui isi nya.
“Ning, maafkan
Ibu dan Bapak ya Ning” Ibu membelai
rambutku.
Bapak
juga ikutan masuk ke kamar ku. Lengkaplah sudah satu keluarga di dalam kamarku.
“Bapak
sudah dengar tangisan mu tadi Ning” Bapak angkat suara.
Aku
masih diam tak angkat bicara, ku palingkan wajah ku ke arah boneka kesayangan
ku. Aku pura-pura tak mendengar percakapan antara Bapak dan Ibu ku.
“Ning,
kamu nggak bisa perhatikan Bapakmu sebentar saja” Ibu memegang bahuku.
“apa
yang Bapak dengar tadi Pak ?” aku menangis lagi.
“tidak
seharusnya kamu menangis di saat Hadi bertamu ke rumah kita” Bapak menatapku
serius.
Aku
tak mengerti apa maksud Bapak melakukan semua ini, bukan kah aku anak semata
wayang nya apalagi aku ini cucu perempuan satu-satu nya dari nenek , Ibunya
Ibuku.
“Ning,
masih ingin sekolah Pak,” tukasku.
“siapa
yang akan menghentikan sekolahmu Ning?” kali ini Ibu yang bertanya.
“benar
itu, kami sayang sekali sama kamu Ning!” ucap Bapak dengan lembut.
“Sudahlah,
aku ngantuk dan lelah ingin istirahat Pak.” dengan suara terisak-isak.
Akhirnya
Bapak dan Ibuku mengerti keinginan ku yang shock dengan kabar ini. Aku tertidur
sempurna setelah peristiwa tadi.
***
Sekilas aku melihat bayangan
wajah pangeran impian ku di genangan air sungai jernih ini. Dia tersenyum pada
ku, aku mencubit tangan ku. Aduh…ternyata sakit dan bayangan itu pun
menghilang.
“Bu
Nining, sedang apa di sini ?” Tanya seorang butet menghampiriku.
“kamu
buat saya terkejut saja,” jawabku tersenyum ramah.
“mari
kita pulang Bu, hari semakin petang” ajak butet menarik tangan ku.
Aku
mengikuti ajakan nya dan pulang ke rumah singgah tempat tinggal ku sementara.
“Bu
Ning, makan malam sudah di siapkan” ayo kita makan.” Teriak Ros dari balik
pintu rumah.
“iya
sebentar lagi saya ke sana”
jawabku bergegas keluar.
Di tempat ini
kami biasa makan bersama mulai dari sarapan hingga makan malam, kebersamaan nya
sangat terjaga.
Aku
jadi teringat Ibu dan Bapak ku di Riau sana,
sedang apa mereka ? apakah rindu kepadaku ? aih. Ku rasa tidak.
“silahkan
makan seadanya Bu Ning,” Inang as yang lengkapnya asia
menawariku.
“iya
Inang,” jawabku singkat.
Selepas makan malam kami biasanya
bergurau ada juga yang menyirih, aku coba-coba ikut inang as makan sirih.
“Pahit
sekali rasanya inang” , ucapku sambil mengunyah sirih.
“ahaha”
, inang menertawakanku yang lucu mengunyah sirih ini.
Malam
semakin larut, udara pun tak terkatakan lagi dinginnya menusuk hingga tulang
yang paling dalam. Aku menyudahi pertemuan kami malam ini dengan ucapan
“selamat malam inang”.
Ku
kembali ke kamarku dan terlelap dalam indahnya mimpi sebagai bunga tidur malam
ini.
Keesokan harinya
aku bergegas menuju halaman luas nan sejuk udara di pagi hari. Aku harus
menjalankan tugas ini sebagai pengabdianku terhadap Negara yang sebenar-benar
menakjubkan ini.
“Bu Nining
panggil seorang anak kecil dari kejauhan.
Aku menunggunya
hingga berada di sampingku.
“hari ini kita
membaca tentang apa Bu?” Tanya anak kecil yang memiliki lesung pipi di sebelah
kiri.
“Kita membaca
tentang legenda yang ada di Indonesia”
, jawabku tersenyum.
Semua anak
didikku telah berkumpul di sini, mereka tak berbutus asa untuk
tetap belajar demi mengejar angan
dan cita yang mereka impikan. Aku akan berusaha mengajarkan kalian hingga mahir
pun menjadi penerus bangsa yang handal.
Sedang
asyik belajar-mengajar dan tanya jawab bersama anak didikku, pandangan sekilas
menatap kearah pemuda di bawah pohon kelapa itu.
Ternyata
dia dari tadi memperhatikan kami di sini, dan dia tersenyum kepadaku. Lalu
mendekat ke arah kami belajar.
“bolehkah
aku ikut belajar bersama anak-anak ini?” Tanya nya kepadaku.
“apa
maksudmu bung ?” aku bertanya heran.
Sudah
sejak seminggu yang lalu aku memperhatikanmu diam-diam nona manis yang santun
perkataannya.
Lantas
, mengapa engkau berminat ikut belajar bersama mereka ini ? bukan kah engkau
sudah jauh lebih mengerti dari mereka tentang yang aku ajarkan ini?
Aku
ingin belajar caramu mengajarkan mereka agar aku lebih mengerti segala
tentangmu nona manis.
Hari
semakin siang, matahari dengan gagahnya mengantar panas ke tempat kami belajar.
Percakapan antara aku dengan pemuda terhenti sampai di sini. Aku dan anak
didikku meninggalkan halaman ini kembali ke rumah masing-masing yang tak
berjauhan jaraknya.
Malam
harinya kembali aku makan malam bersama inang As yang ku anggap sebagai ibuku
sendiri.
Kali
ini mataku enggan untuk terpejam dan rasa kantukku entah berada di mana
sehingga ku tak dapat dengan mudahnya menikmati indah mimpiku. Aku masih terbayang
oleh sosok pemuda yang siang tadi menghampiriku. Dia seperti yang ada dalam
mimpi-mimpiku selama ini. Apakah dia pangeran yang selama ini hadir dalam
mimpiku ? aku terus terfikir tentangnya , wajahnya yang oval, matanya yang
memancarkan ketenangan, rambutnya yang ikal, dan satu hal dia memakai kemeja
biru yah biru salah satu warna kesukaanku.
Dengan kegiatan
yang sama aku kembali mengajar anak didikku, pemuda itu telah lama menunggu
kedatanganku, aku jadi salah tingkah.
“aku dating lagi
nona manis” ucapnya sambil melambaikan tangannya.
Aku tak
menghiraukan lambaian tangannya, aku terus saja mengajar dan mengajarkan anak
didikku.
Sejenak aku
teringat keadaan orang tuaku di Riau, semenjak peristiwa itu aku memilih untuk
merantau ke desa ini, aku pergi diam-diam tanpa izin orang tuaku . hingga aku
S2 aku tak mau menuruti keinginan mereka yang menyuruhku menikahi lelaki yang
usianya sepertiga usiaku. Mungkin di sinilah aku menemukan pendamping hidup
yang bisa menjadi imamku.
“Ibu kenapa
menangis “ , Tanya mutia anak didikku.
“Tidak ada
apa-apa sayang , lanjutkan menulisnya” aku mengusap air mata.
“nona manis,
bolehkah aku mengenalimu lebih dekat?” pemuda itu mendekatiku.
Aku hanya
tersenyum malu.
Pertemuan kami
semakin sering dan keakraban telah menyatukan kami.
Aku tidak
mengerti mengapa hatiku mengatakan bahwa pemuda ini yang selalu hadir dalam
mimpiku, kuat sekali hatiku menyatakan peryataan itu. Entahlah yang pasti aku
senang bertemu dengannya.
Mungkin inilah
yang di namakan cinta sejati, seorang yang ku impikan telah ada di hadapanku.
Aku bahagia telah menemukanmu pangeran impianku.
Keterangan
(*): Mahasiswa Unimed jurusan bahasa dan sastra Indonesia dan bergiat di komunitas
kepenulisan Kontan (Komunitas Tanpa Nama)